Senin, 12 September 2011

konsep hukum

Tidak sedikit dari masyarakat, baik masyarakat terdidik maupun masyarakat tidak terdidik bahkan masyarakat yang sehari-harinya menggeluti dunia hukum khususnya di Indonesia, mereka yang terheran-heran ketika mereka memahami hukum adalah sebagai panglima untuk menjawab, memutuskan, ataupun menyelesaikan suatu perkara atau kasus, ternyata tidak sedikit peraturan perundangan sebagai hukum tersebut mandul tidak melahirkan apa yang diharapkan masyarakat itu sendiri. Mahfud MD. Dalam bukunya “Politik Hukum di Indonesia” bahwa :

…Mereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan… [1]

Harus secara jujur dikatakan bahwa sebuah hukum yang demokratis adalah selalu membesut dari bumi. Artinya, ia merupakan perwujudan dari nilai-nilai yang melembaga didalam masyarakat yang menjadi sasarannya, kemudian untuk dengan arif menata dan menyinergikan persilangan kepentingan yang juga harus dipelihara, senyatanya terjadi dalam tabel hidup dimasyarakat. Lebih dari itu, terutama didunia modren, hukum bahkan kemudian meluaskan fungsinya untuk melakukan social engineering, rekayasa sosial, menciptakan sebuah masyarakat yang menjadi cita-cita sebuah bangsa yang menamakan dirinya sebagai negara hukum. Hukum adalah hasil ciptaan masyarakat, tetapi sekaligus ia juga menciptakan masyarakat. Sehingga konsep dalam berhukum seyogyanya adalah sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Kalau kita menyorot konsepsi Nonet dan Selznick bahwa “Perkembangan hukum sejalan dengan perkembangan Negara:”

Represif, adalah saat negara poverty of power, sumber daya kekuasaanya lemah sehingga harus represif.

Otonom, adalah saat kepercayaan kepada negara semakin meningkat, pembangkangan mengecil. Birokrasi dipersempit menjadi rasional, hukum dibuat oleh dan secara profesional dilembaga-lembaga negara tanpa kontaminasi dan subordinasi oleh negara.

Responsif, adalah untuk mengatasi kekakuan dan tak sensitifnya hukum terhadap perkembangan sosial. Senantiasa dikurangi dan kewenangan membuat hukum diserahkan kepada unit-unit kekuasaan yang lebih rendah agar lebih memahami inti persoalan masyarakat. [2]

Kalau kita mau melihat bagaimana bangunan hukum, maka bagian yang tidak terpisahkan adalah penegakan hukum (law enforcement), bagaimana penegakan hukum kita, paling tidak ada penegakan hukum dalam arti luas dan ada pula dalam arti sempit. Dalam arti luas adalah melingkupi pelaksanaan dan penerapan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum, kalau dalam artian sempit adalah kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan.

Dalam hal penegakan hukum, yang paling pokok disamping yang lain adalah bagaimana meningkatkan kualitas proses pembudayaan hukum sesuai dengan budaya masing-masing tempat, pemasyarakatan sehingga sistem komunikasi dan sosialisasi menjadi yang utama, dan tidak kalah pentingnya adalah pendidikan hukum (law socialization and law education) sehingga dengan pendidikan hukum tersebut menjadikan proses pendewasaan dalam berhukum termasuk pendidikan politik kaitannya dengan hukum. Philipe Nonet dan Philip Selzbick dalam pandangannya sangat fokus terhadap pengayaan dalam ilmu hukum terutama dalam menganalisis institusi-institusi hukum.

Bangkitnya ilmu sosial berkontribusi dalam ranah ilmu hukum terutama ilmu politik sangat signifikan terhadap perubahan dan perkembangan didunia hukum. Nonet dan Selznick menyatakan:

…..Politik pada saat itu menempatkan keadilan pada urutan teratas dalam agenda kepentingan publik. Hak-hak sipil, kemiskinan, kejahatan, protes massal, kerusuhan kaum urban, kerusakan lingkungan, dan penyalahgunaan kekuasaan, semua itu, tidak seperti masa-masa sebelumnya, dipandang sebagai masalah sosial yang sangat urgen untuk dipecahkan…..

….perubahan hukum akan datang melalui proses politik, bukan dari pelaksanaan kebebasan atau keleluasaan yang ada pada agen-agen hukum yang merespons tuntutan-tuntutan yang bersifat partisan.[3]

Untuk menuntut bagaimana tahapan-tahapan evolusi bangsa Indonesia dalam berhukum terutama kaitannya dengan ketertiban sosial politik hukum sejak zaman kolonial sampai kemerdekaan telah melalui beberapa tahapan, namun kita harus mengakui bahwa pada zaman kolonial dengan tidak mengabaikan kejahatan dari arti penjajahan itu sendiri, sesungguhnya dalam hal penegakan hukum adalah sangat baik karena cara berhukumnya pada saat itu mengikuti karakteristik perkembangan masyarakatnya, yaitu bagi golongan Eropa dihormati berlakunya hukum Eropa dan bagi bangsa Indonesia (pribumi) dihormati diberlakukannya juga hukum sebagaimana karakteristik budaya, adat setempat, dan sangat memelihara (walau tidak sama dengan menghargai) nilai-nilai agama sehingga kebijakan dualisme tersebut membuat tegaknya bangunan hukum relatif mampu mengelola bukan saja berbagai kepentingan tetapi juga berabad-abad lamanya mampu mencengkramkan jajahannya di Indonesia Raya ini. Dalam hal ini secara tegas Prof. Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan dalam bukunya “Hukum dalam masyarakat bahwa:

Hukum Eropa dinyatakan berlaku untuk penduduk golongan Eropa, sedangkan untuk golongan pribumi tetap diakui berlakunya kebiasaan, adat istiadat dan pranata agama mereka, dengan catatan selama tidak bertentangan dengan apa yang disebut “asas kepatutan dan adab yang baik”. Semua itu tersebut dalam pasal 75 Reglemen Tata Pemerintahan Hindia Belanda (Indische Regeringsreglement) dari tahun 1854.[4]

Ada polemik atau ketidakwajaran yang bangsa ini rasakan, hal itu sangat berdasar dan beralasan. Hal ini sejalan dengan tesisnya Nonet dan Selznick yang secara tegas mengatakan bahwa:

“Perkembangan” (development) merupakan salah satu dari gagasan-gagasan yang paling membingungkan dalam ilmu-ilmu sosial. Perkembangan telah menjadi obyek kritikan yang berkepanjangan bahkan sejak masa kejayaan evolusionisme pada abad ke 19. Namun, upaya untuk merasionalkan sejarah kelembagaan tampaknya memerlukan pemahaman mengenai kepastian arah, pertumbuhan atau kehancuran. Dalam ilmu hukum terdapat pula pemahaman intuitif bahwa beberapa bidang hukum lebih “berkembang” dibanding bidang hukum lainnya, bahwa perubahan hukum sering menggambarkan pola-pola pertumbuhan atau kehancuran. Rosco Pound merupakan salah seorang diantara mereka yang berpendapat, adalah “hal yang tepat untuk memikirkan….tahap-tahap perkembangan hukum dalam sistem-sistem yang telah mencapai tahap kematangan”.[5]


[1] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, 2001, hal. 1

[2] Moh. Mahfud MD, Sari Kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Pada Program Doktor Ilmu Hukum PPs. FH. UII, Yogyakarta: PPs UII (2008).hal.2

[3] Philipe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward respons Law, Haper 7 Row, 1978 (Terjemahan Raisul Muttaqien) diterbitkan oleh Penerbit Nusa Media, 2008, hal. 2, 7.

[4]Sutandyo Wignjo Soebroto, Hukum Dalam Masyarakat (Perkembangan dan Masalah. Sebuah Pengantar ke Arah Kajian Sosiologi Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, 2007, hal. 241

[5] Philipe Nonet dan Philip Selznick, Op. Cit. hal. 23, 25-27

Tidak ada komentar: