Senin, 12 September 2011

konsep negara demokrasi ( indonesia )

1. Pengertian Demokrasi

Dalam studi humaniora kata demokrasi menyimpan mantra pesona serta keyakinan bulat diantara banyak pengikut dan penggemarnya. Demokrasi secara etimologi berasal dari dari dua kata gabungan bahasa yunani, yaitu demos (rakyat) dan kratos (pemerintah) atau dalam bahasa Indonesia pemerintahan dari rakyat untuk rakyat. Tetapi ketika definisi ini dipakai di indonesia, muncul berjuta pertanyaan : siapa rakyat ? bagaimana bentuk pemerintahan rakyat ? sistem dan mekanisme yang bagaimana pemerintahan dari dan oleh rakyat ?. Adalah Plato yang pertama kali mengusulkan terbentuknya kerajaan pemerintahan yang dipimpin oleh orang bijak. Yang kemudian oleh muridnya aristoteles mengembangkan pendapat plato yang tetap memberikan ruang bagi pendapat rakyat. Kemudian berlanjut pada masa renaissance dimana machiaveli yang menyusun karya dengan dengan judul discorsi (politik kerakyatan) yang memuat tentang principato (kerajaan), ottimati (aristokrasi) dan popolare (demokrasi), di karya tersebut memang Machiavelli tidak membahas secara khusu apa yang dimaksud dengan demokrasi akan tetapi Machiavelli menginginkan percampuran berbagai bentuk pemerintahan yang kemudian dinamainnya dengan bentuk pemerintahan republik. Pembentukan pandangan demokrasi saat itu memang berkaitan dengan bagaimana cara mempertahankan dan membatasi kekuasaan. Dalam kaitannya dengan kebutuhan rakyat agar memiliki’wakil’ yang bisa melakukan control, pembatasan sekaligus pendelegasian atas kepentingan-kepentingan rakyat.[1]

2 Negara Demokrasi

Sejak memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, konstitusi Indonesia terus berproses dalam rangka mewujudkan kehidupan yang demokratis. Undang-Undang Dasar 1945 (naskah asli), Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, Undang- Undang Dasar Sementara 1950 dan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (amandemen ke-empat) merupakan hasil upaya untuk semakin mendekatkan diri kepada demokrasi. Ditinjau dari asal kata, demokrasi berarti “rakyat berkuasa” atau “government or rule by the people”. Kata Yunani demos berarti “rakyat” dan kratos/ kratein berarti “kekuasaan/ berkuasa”.[2]

Dalam demokrasi dikenal konsep Rechstaat (negara hukum).[3] Rechtstaat (negara hukum) diartikan sebagai negara yang penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan prinsip- prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintah.[4] Menurut Frederik Julius Stahl, salah satu unsur dalam konsep Rechstaat adalah negara didasarkan kepada Trias Politica (pemisahan kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudisial).[5] Menurut Carles de Secondat Baron de Labriede et de Montesquieu :[6]

a. Kekuasan Legislatif adalah sebagai pembuat undang- undang;

b. Kekuasaan Eksekutif adalah sebagai pelaksana undang- undang;

c. Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan untuk menghakimi.

Dalam sistem ketata negaraan Indonesia pasca Amandemen ke- empat Undang- Undang dasar 1945 kekuasaan Legislatif dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selain itu Presiden juga mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang- undang dan turut serta dalam pembahasan rancangan undang- undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kekuasaan Eksekutif dilaksanakan oleh Presiden. Kekuasaan Yudikatif dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).[7]

Dalam rangka menjamin bahwa masing- masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya maka diperlukan suatu checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan). Dalam checks and balances system, masing- masing kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Checks and balances system merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolok ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka mewujudkan demokrasi.

Dalam konstitusi Indonesia, fungsi kontrol Legislatif terhadap Eksekutif meliputi persetujuan terhadap kekuasaan Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain; review terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (perpu) yang dibuat oleh Presiden, pembahasan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) bersama Presiden. Selain fungsi kontrol tersebut, DPR juga dapat mengajukan usul kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan Presiden karena melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela mau pun bila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Dalam pelaksanaan fungsi kontrol tersebut peran DPD sangat minim, yaitu sebatas “dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang- undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama”. DPD tidak berwenang secara langsung untuk menindak lanjuti hasil pengawasan tetapi hanya sebatas menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan Yudikatif (MA dan MK), DPR berwenang melakukan penyaringan terhadap para calon hakim agung dan mengajukan tiga dari sembilan orang hakim konstitusi.

Di Amerika Serikat sebagai kiblat konsep checks and balances system, dalam hal pelaksanaan fungsi kontrol kekuasaan Eksekutif terhadap Legislatif, Presiden diberi kewenangan untuk memveto rancangan undang- undang yang telah diterima oleh Congress (semacam MPR), akan tetapi veto tersebut dapat dibatalkan oleh Congress dengan dukungan 2/3 suara dari House of Representative (semacam DPR) dan Senate (semacam lembaga utusan negara bagian).[8] Dalam Undang- Undang Dasar 1945 tidak terdapat ketentuan mengenai hak veto tersebut tetapi pembahasan setiap rancangan undang- undang dilakukan oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.[9] Selain hak pembahasan dan persetujuan bersama, Presiden juga diberikan hak untuk mengajukan rancangan undang- undang kepada DPR.[10] Keterlibatan Presiden sebagai pemegang kekuasaan Eksekutif dalam kegiatan membuat undang- undang membuatnya juga memegang kekuasaan Legislatif sehingga Presiden mempunyai kekuasaan ganda. Hal tersebut tidak konsisten dengan asas Trias Politica (pemisahan kekuasaan). Sejauh ini di negara- negara yang menganut sistem presidensial, kekuasaan Legislatif diserahkan kepada parlemen, sedangkan Presiden mempunyai hak veto. Diantara negara- negara tersebut hanya konstitusi Indonesia dan Puerto Rico yang memberikan hak legislasi bersama parlemen kepada Presiden.[11] Sedangkan dalam fungsi kontrol tehadap kekuasaan Yudikatif, Presiden diberikan kewenangan untuk menyetujui dan menetapkan calon hakim agung sebagai hakim agung,[12] selain itu Presiden juga diberikan kewenangan untuk mengajukan tiga dari sembilan orang hakim Konstitusi dan menetapkan para hakim Konstitusi tersebut.[13]

Dalam rangka fungsi pengawasan kekuasaan Yudikatif terhadap kekuasaan Eksekutif, MA diberikan kewenangan untuk menguji peraturan perundang- undangan yang kedudukannya dibawah undang- undang terhadap undang- undang.[14] Berdasarkan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, bentuk- bentuk dan tata- urutan perundang- undangan meliputi:

1. Undang- Undang Dasar (UUD) dan perubahan UUD.

2. Undang- Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perpu).

3. Peraturan Pemerintah.

4. Peraturan Presiden.

5. Peraturan Daerah.

Menurut pendapat Jimly Asshiddiqie, dalam praktik disamping peraturan perundang- undangan tersebut masih banyak bentuk peraturan perundang- undangan lain seperti Peraturan Menteri, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Konstitusi, Peraturan dan Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan, dll.[15] Kewenangan tersebut diberikan kepada MA karena Indonesia belum membentuk MK. Dengan dibentuknya MK sebagai “pengawal konstitusi” dan untuk memperingan tugas MA maka sebaiknya kewenangan menguji MA diserahkan kepada MK. Hal tersebut juga supaya semua peraturan perundang- undangan dapat diuji terhadap undang- undang dasar sehingga dapat terwujud supremasi konstitusi.

Selain hal tersebut, MK juga diberikan kewenangan untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar.[16]

Dalam rangka melaksanakan konsep checks and balances yang lazim, sebaiknya Presiden tidak boleh turut bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembahasan rancangan undang- undang dan hak Presiden untuk mengajukan rancangan undang-undang sebaiknya dihapus. Sebagai mekanisme kontrol terhadap Legislatif, Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif diberikan hak veto atas rancangan undang-undang yang akan disahkan Legislatif. Perubahan tersebut wajib dicantumkan dalam amandemen undang- undang dasar.[17]

Selain hal tersebut, hak uji peraturan perundang- undangan sebaiknya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga semua peraturan perundang- undangan diuji terhadap undang- undang dasar.[18]

3. Pemisahan Kekuasaan atau Pembagian Kekuasaan

Berawal dari kritikan dari John Locke[19] (1660) terhadap kekuasaan raja yang absolut. Dan mendukung pembatasan kekuasan politik terhadap raja. Tahun 1688 terjadi perebutan kekuasaan antara kerajaan dan Parlemen Inggris yang dimenangkan oleh Parlemen. Alasan John Locke mengkritik kekuasaan Absolut Raja adalah “bahwa alasan manusia mengadakan kontrak sosial untuk memelihara hak2 alami manusia, yaitu, hak untuk hidup, kemerdekaan dan hak milik yang melahirkan status politik. John Locke menyatakan” untuk mencapai keseimbangan dalam suatu negara, kekuasaan negara harus dipilah kepada tiga bagian

a. Kekuasaan Legislatif: berwenang membuat Undang-Undang.

b.Kekuasaan Eksekutif: melaksanakan/mempertahankan Undang-Undang.

c.Kekuasaan Ferderatif: semua kekuasaan yang tdk termasuk a dan b, seperti : keamanan negara, urusan perang dan lain-lain.

Teori John Locke dimodifikasi oleh Montesquieu[20] yaitu: Kekuasaan legislatif : membuat hukum, kekuasaan eksekutif : menjalan hukum, dan kekuasaan yudikatif : menafsirkan hukum.

Ketiga kekuasan tersebut terpisah satu sama lain.

Perbedaan ajaran kedua sarjana tersebut adalah:

Menurut John Locke : tidak ada kekuasaan Yudikatif karena sudah termasuk kepada kekuasan eksekutif.

Menurut Montesquieu : kekuasan Yudikatif adalah kekuasaan berdiri sendiri, kekuasan federatif telah termasuk kepada kekuasaan eksekutif . Kebebasan politik hanya ada di negara-negara dimana kekuasaan negara bersama-sama dengan fungsi yang berhubungan tidak berada pada orang yang sama atau badan yang sama. Apabila kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif menyatu dalam satu organ tangan atau badan, tidak ada kebebasan; akan timbul keprihatinan, karena raja atau majelis akan melaksanakan hukum-hukum yang zalim, melaksanakan dengan cara yang zalim. Juga tidak ada kebebasan, jika kekuasaan peradilan tidak dipisahkan dari legislatif dan eksekutif. Orang yang diberi kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakannya, Untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan itu langkah-langkah yang harus diambil adalah membatasi kekuasaan dengan kekuasaan.

Menurut Jean Jecques Rousseau[21] yang membatasi fungsi negara kepada dua komponen yaitu pembuat undang-undang dan pelaksana undang-undang.

Lord Acton[22] mengatakan manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya. Untuk itu perlu dilakukan pemisahan kekuasan.

Jadi ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) bertujuan untuk membatasi kekuasaan badan-badan pejabat penyelenggara negara dalam batas-batas cabang kekuasaan masing-masing.

Melihat realitas prakteknya di Indonesia ada tidaknya pemisahan kekuasaan di Indonesia, Ismail Suny menyimpulkan, bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material tidak terdapat dan tidak pernah dilaksanakan di Indonesia, yang ada dan dilaksanakan adalah pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat pembagian kekuasaan dan bukan pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances).

Pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.

Selama ini, UUD 1945 (sebelum amanademen) menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal, bukan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal.

Kedaulatan rakyat dianggap terwujud penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi ataupun sebagai forum tertinggi.

Dari sini, fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan kewenangan lembaga-lembaga tinggi negara yang ada di bawahnya, yaitu Presiden, DPR, MA, dan seterusnya. Karena itu, dalam UUD 1945 yang asli, tidak diatur pemisahan yang tegas dari fungsi legislatif eksekutif dan yudikatif


[1] Eko Prasetyo,2005 Demokrasi Tidak Untuk Rakyat !, Yogyakarta,hlm.9-18

[2] Miriam Budiardjo, 2005, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Tama, Jakarta, hlm. 50.

[3] Ibid., hlm. 52.

[4] I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Kostitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hlm.158.

[5] Ibid.

[6] Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 13.

[7] Jimly Asshiddiqie, 2009, Konstitusi dan Konstitualisme, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 184.

[8] Moh. Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 69.

[9] Pasal 20 ayat (2) Undang- Undang Dasar 1945

[10] Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945.

[11] Moh. Mahfud MD, makalah Undang- Undang Dasar 1945 Sebelum dan Sesudah Perubahan, disampaikan dalam seminar konstitusi “Kontroversi Amandemen UUD 1945 dan Pengaruhnya terhadap Sistem Ketatanegaraan, Jakarta, 12 April 2007.

[12] Pasal 24 A ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945

[13] Pasal 24 C ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945.

[14] Pasal 24 A ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945.

[15] Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 204.

[16] Pasal 24 C ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945

[17]http://hukum.kompasiana.com Alit Amarta Adi trias-politica-dan-checks-and-balances-a-la-indonesia/ diunduh tanggal 20 februari 2011

[18] Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 204.

[19] Jhon Locke dilahirkan tahun 1632 di Wrington, Inggris. Dia memperoleh pendidikan di Universitas Oxford, peroleh gelar sarjana muda tahun 1656 dan gelar sarjana penuh tahun 1658. Selaku remaja dia tertarik sangat pada ilmu pengetahuan dan di umur tiga puluh enam tahun dia terpilih jadi anggota "Royal Society." Dia menjadi sahabat kental ahli kimia terkenal Robert Boyle dan kemudian hampir sepanjang hidupnya jadi teman dekat Isaac Newton.

[20] Charles-Louis de Secondat, Baron de La Brède et de Montesquieu (lahir 18 Januari 1689 – meninggal 10 Februari 1755 pada umur 66 tahun), atau lebih dikenal dengan Montesquieu, adalah pemikir politik Perancis yang hidup pada Era Pencerahan (bahasa Inggris: Enlightenment). Ia terkenal dengan teorinya mengenai pemisahan kekuasaan yang banyak disadur pada diskusi-diskusi mengenai pemerintahan dan diterapkan pada banyak konstitusi di seluruh dunia. Ia memegang peranan penting dalam memopulerkan istilah "feodalisme" dan "Kekaisaran Bizantium"

[21] Jean-Jacques Rousseau (lahir 28 Juni 1712, wafat 2 Juli 1778) adalah seorang filsuf dan komposer Perancis Era Pencerahan dimana ide-ide politiknya dipengaruhi oleh Revolusi Perancis, perkembangan teori-teori liberal dan sosialis, dan tumbuh berkembangnya nasionalisme. Melalui pengakuan dirinya sendiri dan tulisan-tulisannya, ia praktis menciptakan otobiografi modern dan mendorong perhatian yang baru terhadap pembangunan subjektivitas --- seuah dasar bagi karya-karya bermacam-macam pemikir hebat nantinya seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel dan Sigmund Freud. Novelnya "Julie, ou la nouvelle Héloïse" adalah salah satu karya fiksi yang sangat banyak terjual di abad ke-18 dan menjadi acuan penting dalam perkembangan karya-karya romantisme. Ia juga memberikan kontribusi penting pada musik, baik sebagai seorang pengembang teori musik maupun sebagai seorang komposer.

[22] John Emerich Edward Dalberg Acton - Pertama Baron Acton dari Aldenham - lahir di Napoli, Italia pada tanggal 10 Januari 1834. Ayahnya, Sir Richard Acton, adalah keturunan dari garis Inggris mapan, dan ibunya, Countess Marie Louise de Dalberg, berasal dari keluarga Rhenish yang dianggap kedua dalam status hanya untuk keluarga kekaisaran Jerman. Tiga tahun setelah ayahnya meninggal pada tahun 1837, ibu-Nya kembali menikah dengan Lord George Leveson (kemudian dikenal sebagai Earl Granville, William Gladstone Menteri Luar Negeri), dan pindah keluarga ke Inggris. Dengan latar belakang kosmopolitan dan dibesarkan, Acton juga sama di rumah di Inggris atau di Benua Eropa, dan dibesarkan berbahasa Inggris, Jerman, Perancis, dan Italia. Seorang profesor Sejarah Modern di Universitas Cambridge. Ketika ia meninggal pada tahun 1902, Lord Acton dianggap salah satu orang paling terpelajar dari usianya, tak tertandingi untuk kedalaman, luas, dan kemanusiaan pengetahuannya.

Tidak ada komentar: