Rabu, 28 September 2011

red 2

Pada tahun 1954 Pemimpin Partai PKI DN Aidit dipanggil oleh pengadilan Jakarta karena diangap melakukan usaha subversif atau perlawanan terhadap negara terkait dengan peristiwa Pemberontakan di Madiun tahun 1948. Dalam persidangan tersebut selain mengungkapkan naskah pembelaannya yang berjudul “Aidit Mengugat” ia juga mengajukan Hatta sebagai saksi untuk mengukapkan kebenaran mengenai peristiwa Madiun tersebut. Permohonan Aidit untuk mengajukan Hatta dipersidangan ditolak oleh jaksa penutut umum sehingga pada akhirnya atas penolakan dari jaksa tersebut Aidit tidak dapat dituntut dan dibebaskan dari segala macam tuduhan menyangkut perannya dalam peristiwa Madiun. Lalu mengapa Hatta yang harus diajukan menjadi saksi oleh Aidit.

Diajukannya Hatta sebagai saksi dalam persidangan Aidit selain dikarenakan Hatta yang memegang pemerintahan ketika terjadinya peristiwa Madiun juga dikarenakan isu keberadaan Red Drive Proposal yang dianggap menjadi penyebab terjadinya pemberontakan PKI pada tahun 1948 tersebut. Red Drive Proposal merupakan program bantuan dari Amerika Serikat dalam bidang ekonomi dan politik dengan syarat pemerintah Indonesia saat itu mampu menyingkirkan golongan kiri terutama mereka yang berasal dari golongan militer.

Pada tanggal 21 Juli 1948 terjadi pertemuan rahasia antara pihak Indonesia yang diwakili oleh Hatta, Natsir, Mohammad Roem, Soekiman, dan Soekanto dengan pihak Amerika yang diwakili oleh Merle Cochran dan Gerald Hopkins di Sarangan Jawa Timur menyangkut program bantuan bagi Indonesia yang pada akhirnya menghasilkan Proposal Red Drive. Red Drive Proposal merupakan bagian dari politik perang dingin Amerika Serikat sebagai upayanya untuk merangkul bangsa yang baru saja merdeka ini ke dalam pengaruhnya, dan Red Drive Proposal dapat dianggap sebagai ujian apakah pemerintahan Hatta mampu menyingkirkan golongan kiri yang ada di Indonesia dengan imbalan apabila usaha tersebut berhasil Pemerintah Amerika akan memberikan bantuannya dalam bidang ekonomi serta menekan pemerintahan Belanda untuk mengakui kedaulatan Indonesia sebagai negara yang merdeka.

Walaupun kebenaran mengenai Red Drive Proposal serta pertemuan rahasia di Sarangan antara Amerika dengan Hatta masih menjadi perdebatan dan kontroversi namun seperti yang telah tertulis dalam Red Drive Proposal bahwa setelah terjadinya peristiwa Madiun dan para tokoh golongan kiri yang diwakili oleh Muso, Amir Syarifudin dkk. Amerika Serikat memenuhi janjinya untuk mendesak Pemerintah Belanda agar mengakhiri agresinya serta mengakui Kedaulatan Indonesia.

Tanpa mengucilkan peran dari Serangan Umum Satu Maret terhadap perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia namun tekanan dari Amerika Serikat terhadap pemerintah Belanda memberikan efek yang begitu besar sehingga mampu memaksa Belanda untuk duduk di meja perundingan dan mengakui kemerdekaan wilayah bekas jajahannya tersebut.
Masa pemerintahan Hatta sebagai Perdana Menteri merupakan salah satu periode tergelap dalam perjalanan sejarah bangsa kita, perpecahan dan pertikaian yang berujung pada pecahnya perang saudara serta memuncak dengan meletusnya peristiwa Madiun meninggalkan luka dan dendam bagi mereka yang menjadi korban di dalamnya dan Red Drive Proposal menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam catatan sejarah bangsa Indonesia.
Ditandatanganinya Perjanjian Renville antara pemerintah Indonesia dengan Belanda memberikan dampak yang begitu besar dalam perjalanan sejarah bangsa kita. Amir Syarifudin yang dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam kekalahan Indonesia dalam perjanjian Renville tersebut harus meletakan jabatannya sebagai perdana menteri dan digantikan oleh Muhammad Hatta, selain itu kesatuan tentara yang berada di wilayah Jawa Barat serta wilayah lainnya yang dalam Perjanjian Renville menjadi milik Belanda harus pindah ke daerah Indonesia. Seperti Kolonel A.H. Nasution bersama dengan pasukan Siliwangi harus hijrah dari Jawa Barat menuju Yogyakarta dan kemudian ditempatkan tersebar di wilayah Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur khususnya di daerah yang kekuatan kaum kirinya cukup kuat seperti di Solo dan Madiun dengan tujuan selanjutnya membersihkan kaum kiri.

Ketika itu Pasukan Siliwangi merupakan pasukan yang memiliki perlengkapan tempur paling lengkap dibandingkan dengan pasukan lainnya, selain itu pimpinan Siliwangi memiliki kedekatan yang lebih baik dengan pemerintah sehingga ketika Pemerintahan Hatta mengeluarkan kebijakan Rekonstruksi dan Rasionalisasi (RERA) dalam tubuh militer Pasukan Siliwangi merupakan pasukan yang paling sedikit mengalami RERA, hal inilah yang menimbulkan pertentangan dari pasukan lainnya, Pasukan Siliwangi dianggap sebagai pasukan kaki tangan pemerintah.

Tanggal 2 Juli 1948 komandan Divisi Panembahan Senopati Kolonel Sutarto dibunuh oleh orang tak dikenal, kemudian diikuti dengan penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa tokoh kiri yang diduga kuat dilakukan oleh Pasukan Siliwangi sebagai bagian dari kebijakan pemerintahan Hatta untuk menyingkirkan golongan kiri. Penculikan dan pembunuhan ini terus berlanjut terhadap tokoh kiri serta anggota pasukan Panembahan Senopati yang menimbulkan ketegangan.

Akibat dari ketegangan yang terus berlanjut terjadi pertempuran antara Pasukan Panembahan Senopati yang dibantu oleh Angkatan Laut melawan Pasukan Siliwangi pada tanggal 13 September 1948 di Solo. Pemerintah Hatta mengirimkan tentara untuk membantu Pasukan Siliwangi yang pada akhirnya dilakukan gencatan senjata pada tanggal 15 September 1948.

Pada tanggal 16 September 1948 markas Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang merupakan organisasi kepemudaan yang beraffiliasi kepada PKI diserang oleh Pasukan Siliwangi sehingga menyebabkan pertempuran Solo semakin menghebat Aksi pembersihan orang-orang kiri ini tidak hanya terjadi di Solo tetapi meluas ke Madiun dan wilayah sekitarnya, oleh karena itu Hatta mengirim pasukan-pasukan Siliwangi ke Madiun dan menduduki beberapa pabrik gula. Pasukan Siliwangi tersebut menlakukankan latihan-latihan militer serta menganiyaya beberapa buruh pabrik gula serta membunuh seorang anggota Serikat Buruh Gula. Kejadian ini menimbulkan ketegangan. Selain itu tidak adanya pemerintahan sipil ketika itu menyebabkan situasi bertambah panas, kacau dan tak terkendali itu, karena Residen Madiun tidak ada di tempat dan Walikota sakit, maka pada tanggal 19 September 1948 Front Demokrasi Rakyat (FDR) mengambil prakarsa untuk mengangkat Wakil Walikota Madiun Supardi sebagai pejabat residen sementara dan pengangkatan ini telah disetujui baik oleh pembesar-pembesar sipil maupun militer dan dilaporkan ke pemerintah pusat di Yogyakarta serta dimintakan petunjuk lebih lanjut. Peristiwa inilah yang mengawali apa yang disebut sebagai Peristiwa Madiun.
Pengangkatan Supardi sebagai pejabat residen sementara ini dianggap oleh Pemerintah Hatta dan Sukarno sebagai suatu upaya pemberontakan.Pada tanggal 19 September 1948 malam hari pemerintah Hatta menuduh telah terjadi Pemberontakan PKI sehingga dikerahkanlah kekuatan bersenjata oleh Hatta untuk menumpas dan menimbulkan konflik yang memakan banyak korban termasuk beberapa orang pemimpin dan anggota PKI dibunuh seperti mantan Perdana Menteri Amir Syarifudin, Dokosuyono, dan lain-lain. Selain itu sekitar 36.000 orang anggota dan simpatisan kiri ditangkap dan dipenjara serta dibunuh tanpa melalui proses pengadilan.

Kejadian di atas merupakan kronologis dari Madiun Affairs yang ketika masa Orde Baru disebut dengan istilah Pemberontakan PKI Madiun 1948, peristiwa yang dilatarbelakangi oleh konflik antara Pasukan Siliwangi dengan Pasukan Panembahan Senopati kemudian memanas dan merebet ke dalam konflik negara sehingga menimbulkan korban ribuan jiwa. Selain itu Pasukan Siliwangi dijadikan senjata oleh Pemerintahan Hatta dalam menjalankan kebijakan Red Drive Proposal yang berupaya untuk menyingkirkan golongan kiri Indonesia yang ketika itu berpusat di Solo, Madiun, dan sekitarnya.

SBY

ALANGKAH hebatnya SBY dan alangkah bangganya kita mendengar presiden kita ini termasuk dalam tokoh kaliber dunia versi majalah TIME. Majalah bergengsi itu dalam edisi awal April 2009 menetapkan SBY sebagai satu diantara 100 tokoh dunia yang berpengaruh. Bahkan, rankingnya jauh mengungguli Presiden Barrack Obama yang bertengger di angka 20—sementara SBY di urutan 9 persis di angka kesayangan presiden asal Pacitan itu.


Namun demikian, sementara kalangan toh terbelalak sembari menyoal validitas ketokohan dunia itu. Dalam tayangan Metro-TV belum lama, mantan anggota DPR/MPR Ichsanurddin Noorsy mengaitkan terpilihnya SBY sebagai tokoh dunia itu dengan tendensi politik sebagai bagian dari operasi intelijen asing. Konteksnya tidak lain ialah berlangsungnya Pemilu Presiden 2009 berkenaan dengan tim sukses SBY yang ditengarai memang merambahi lingkungan strategis dunia.

Dalam prolog penetapannya nama SBY tidak tercantum dalam 208 tokoh yang dinominasikan. Namun, secara ajaib –demikian narator Metro-TV—nama presiden kita tertera dalam urutan ke sembilan dari 100 tokoh dunia. Jika redaktur Metro-TV mengaitkannya dengan kinerja konsultan asing yang berwajib mendongkrak citra SBY di dunia internasional, Ichsanurddin mengorelasikan dengan kelayakan majalah besar taraf dunia itu dengan “apa yang dibaliknya.” Tidak sulit untuk mengerti bahwa pencantuman nama SBY itu tidak akan terlepas dari bagian pencitraan berhubung pencitraan media selama ini memang amat segmental dalam strategi kampanyenya.

Memang memadaikah personalitas SBY, di antara ciri penting dalam opini publik sebagai peragu menyandang predikat tokoh dunia yang berpengaruh? Budaya Jawa yang amat kaya kata-kata bijak atau unen-unen mempunyai dua frasa untuk dipakai sebagai kacamata analisis, yakni gendhulak-gendhulik dan laku dom sumuruping banyu.

Yang pertama adalah peran sikap dan kepribadian personal manusia (diarahkan SBY) dan frasa kedua adalah peribahasa atau pepatah
(dimaksudkan kepada tendensi tindakan siluman majalah TIME). Ihwal gendhulak-gendhulik adalah unen-unen yang bersifat dialek yang dikenal bagi komunitas Jawa tertentu dan mungkin kurang dikenal bagi komunitas Jawa lainnya.

Kita tahu bahwa Jawa tidaklah menjanjikan diskripsi seragam dari sudut budaya; ada perangan tertentu semisal Jawa Yogya Mataraman, Jawa Solo, Jawa Banyumasan, Jawa Madura. Di sisi lain dikenal Jawa pedalaman atau pegunungan dan Jawa pesisiran. Gendhulak-gendhulik agaknya lebih dominan pada Jawa pedalaman, Jawa Solo- Yogya dan sekitarnya.

Yang unik serta membanggakan adalah, frasa khas Jawa itu lebih populer pada lantunannya dalam sebuah lagu karawitan dengan notasi: nem lu ma lu nem ji ro; nem nem lu ma lu nem ma lu (6 3 5 3 6 1 2 6 6 3 5 3 6 5 3 ) dengan titi laras slendro. Unen-unen tersebut menjadi syairnya dengan seselan “a” di tengahnya begini: gen dhu lak a gen dhu lik (6 3 5 3 6 1 2)—lantas disambung syair: apa sida apa ora (6 6 3 5 3 6 5 3). Adapun maknanya, unen-unen gendhulak-gendhulik itu ditujukan kepada sifat ragu-ragu; sering maju-mundur dengan kelambanan mengambil keputusan. Sifat itu memang kurang mengenakkan lingkungan sosial semisal pertemanan, kekeluargaan dan keorganisasian, berhubung dengan dampak ketidakpastian yang kadang menjengkelkan.

Dalam kelindan ekstremnya, pribadi gendhulak-gendhulik meriskir sifat tidak konsisten dan secara lebih tajam konektif dengan ciri tak mudah dipegang pembicaraan dan janjinya. Ada gendingan khas pedesaan semacam ini: wit gedang awoh pakel (ngomong gampang, nglakoni angel) dan di lingkungan kediaman penulis, seni menyebutnya sebagai berikut: cangkem karo silit kuwi adoh.

Dus, seorang yang dikenal berwatak gendhulak-gendhulik adalah pribadi peragu, banyak pernyataan tetapi kurang bukti, sering kurang mampu bertanggung jawab. Begitukah seorang SBY? Barang tentu orang tak boleh sepihak dalam pernilaian. Deskripsi perlu dibangun dengan lebih dahulu memberi respek dimana SBY dikenal luas sebagai seorang tokoh nasional simpatik selalu bersenyum ramah; tinggi kesantunan dan ucapan maupun tindakannya ‘terukur’. Tampilan fisik dan parasnya mudah memesona kaum ibu.

Namun demikian sejalan dengan “hukum besi” bahwa tidak ada gading yang tak retak dan ‘rumus’ bahwa seseorang memuat dalam dirinya kelebihan dan kekurangan; SBY tak bisa dikecualikan dari hukum dan rumus itu. Barangkali falsafah Cina pas untuk disebut; bahwa manusia sebagai kompleks sinergis mikrokosmik tak terlepas dari modalitas (ke-cara berada-an) kesisteman Yin-Yang.

Berikut ini beberapa hal yang mungkin mendukung kritik Ichsanurddin Noorsy dalam rubrik Secret Operation Metro TV tersebut di muka. Dalam duet kepresidenan SBY- JK, tak sedikit khalayak menyimpulkan betapa justru JK justru lebih artikulatif dalam kinerja kenegaraan—yang terkenal ialah penyelesaian masalah GAM di Aceh. Namun, apa lacur? Malahan SBY-lah yang dinominasikan menyabet Nobel Perdamaian tahun silam!

Kedua, dalam amatan Buya Syafii Ma’arif yang dikenal bijak itu, JK disebutnya sebagai ‘The Real President’ dalam kepemimpinan kenegara-bangsaan sekarang ini. Dan manakala mesti dituntut pemuncakan tanggung jawab atas permasalahan besar yang berdampak aib di mata dunia; musibah Lumpur Lapindo dan kekisruhan massif pemilu 2009 (DPT, ketidakruntutan kerja KPU) tidakkah presiden sebagai kepala pemerintahan adalah penanggungjawab puncak? Wajarlah, untuk kekisruhan pemilu, Prabowo Subianto menuntut agar presiden tidak lempar tanggung jawab (‘Merdeka,’ 18 April 2009).

Tulisan ini berpendapat, di antara enam presiden RI, hanyalah Sukarno layak dinobatkan sebagai presiden kaliber dunia, terbukti dalam
kepemimpinan tiga benua (Asia, Afrika dan Amerika Latin) bersama Naser (Mesir), Tito (Yugoslavia) , Nehru (India), Moh.Ali (Pakistan) dan Nkrumah (Ghana). Soeharto berada diseputar level kepemimpinan ASEAN (yang amat disegani oleh Lee Kuan Jew dan Mahatir Mohammad). Taraf dunianya seorang Habibie dan Gus Dur bukan pada kepresidenannya, Habibie dalam keahlian teknologi kedirgantaraan dan Gus Dur dalam kepemimpinan nonformal pluralisme keagamaan dan perdamaian.

Maka itu, bila TIME kok menorehkan skor begitu tinggi atas kepemimpinan SBY, memang bukan mustahil jejak semacam itu dalam budaya Jawa dikategorikan dalam laku dom sumuruping banyu, yakni laku siluman terkait kompleks operasi intelijen asing yang dalam bahasa Jawa disebut kompleks telik-sandi.

Jika benar begitu, sebetulnya tidaklah sulit untuk memahami berkenaan dengan fakta sejarah betapa strategisnya Indonesia bagi kekuatan-kekuatan besar dunia sehingga mereka berupaya untuk menggaet ke dalam political bahkan ideological sphere masing-masing pihak adidaya itu. Mantan Rektor UGM Prof Soeroso (alm) dalam pidato pengukuhan profesornya menyatakan bahwa sejak 1950-an Indonesia bukan saja terseret dalam political sphere Amerika, melainkan juga ke dalam academic sphere-nya.

Dus, dalam konteks interaksi antar-bangsa operasi intelijen asing mana pun sah-sah saja dialamatkan ke suatu negara, sejauh hukum negara itu tidak dilanggar—atau dilanggar tetapi tidak konangan, atau aparatur negara ethok-ethok tidak ngerti karena menguntungkan.

red drive proposal

Red Drive Proposal, diyakini merupakan usulan pemerintah Amerika Serikat kepada pemerintah Indonesia pimpinan Perdana Menteri Mohammad Hatta, untuk menumpas habis Partai Komunis dan seluruh elemen kelompok sayap kiri di Indonesia. Inikah awal mula campur tangan Amerika Serikat di Indonesia? Kesaksian mantan Gubernur Militer Sumarsono sudah selayaknya digali lebih lanjut oleh para sejarawan Indonesia.

Banyak literatur sejarah di zaman Pemerintahan Soeharto mengatakan bahwa awal keterlibatan Amerika Serikat (AS) bermula ketika pecah konflik di dalam negeri, yakni PRRI (di Sumatera Barat) dan Permesta (di Sulawesi Utara) dekade 50-an.

Namun, jika ditelusur ke belakang lagi, justru mulanya AS berkepentingan langsung untuk turut campur tangan dalam menentukan masalah dalam negeri Indonesia bermula tiga tahun setelah Indonesia merdeka pada 1945.

Adalah konflik senjata yang meletus di Solo, Jawa Tengah dan Madiun, Jawa Timur, pada 1948, yang menyeret langsung AS untuk turun tangan. Sebagai bagian dari pengaruh perang dingin antara dua kutub kekuatan dunia: AS di blok Barat dan US di blok Timur, setelah merambah daratan Eropa, kemudian yang menjadi medan pertarungan adalah kawasan Asia Tenggara.

Indonesia yang memiliki kekayaan alam berlimpah dan geografisnya begitu strategis, menjadi pertimbangan khusus bagi kebijakan Pemerintahan Harry Truman. Belum lagi, pasca Perang Dunia II, konflik yang merebak di Burma, Singapura, Thailand dan Malaysia dengan sponsor dari blok Komunis, membuat AS dengan “politik pembendungannya” (containment policy) merasa kecams jika Indonesia pun menjadi sulit dikontrol dan akhirnya masuk dalam orbit negara-negara komunis seperti Uni Soviet.

Sebuah ulasan yang sangat bagus dan detil ada di buku “Indonesia Merdeka Karena Amerika”, yang ditulis oleh sejarawan Belanda Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg (2008), dimana mereka mengamati kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia sejak 1920 hingga 1949.

Intinya, dalam buku ini, digambarkan bahwa Konferensi Meja Bundar (KMB) akhir 1949 di mana Indonesia mendapat pengakuan secara internasional, adalah berkat peran besar AS.

Namun, akan lebih tepat jika melihat KMB tersebut secara sebab-akibat. Karena, KMB lahir dari akibat perang pengaruh kekuatan adidaya di masa itu (AS versus Soviet) yang menyeret ke alam Nusantara. Pemicu yang digunakan adalah konflik berdarah di Solo dan Madiun pada 1948.

Masyarakat Indonesia yang dipelopori para pemuda dari berbagai golongan, pada intinya tidak ingin menghirup udara kemerdekaan hasil dari pemberian pihak kolonial.

Itu sebabnya, saat Jepang menjajah Indonesia dan kemudian negara Matahari Terbit ini dijatuhkan bom atom oleh AS awal Agustus, para pemuda menghendaki segera mungkin Indonesia merdeka. Sayangnya, Soekarno-Hatta saat itu sedang diundang ke Dalat (Vietnam) oleh petinggi militer Jepang yang menjanjikan bahwa kemerdekaan Indonesia “pada saatnya” akan diberikan.

Berbekal dari janji politik tersebut, Soekarno-Hatta saat tiba kembali ke Jakarta dan dipaksa oleh para pemuda untuk segera memproklamirkan Indonesia karena Jepang sudah takluk, belum yakin seratus persen.

Meletuslah Peristiwa 16 Agustus 1945, di mana Soekarno-Hatta diculik oleh sekelompok pemuda ke Rengasdengklok, Jawa Barat. Meski di momentum itu Soekarno-Hatta belum bersedia juga, namun makna dari penculikan tersebut berdampak sehari sesudahnya. Jam 10 pagi tanggal 17 Agustus, Indonesia pun resmi memproklamirkan kemerdekaannya.

Tiga tahun kemudian, setelah melewati masa sulit awal pemerintahan dengan jatuh-bangunnya kabinet karena kekuatan kolonial Belanda terus ingin menguasai Indonesia, di tubuh pemerintahan pun mulai terjadi perpecahan.

Kubu Amir Syarifuddin yang menjabat sebagai Perdana Menteri dan didukung oleh gerakan Sosialis-Komunis tak menghendaki adanya kompromi dengan Belanda. Sementara Soekarno-Hatta di kubu lain lebih memilih cara praktis, yakni bersedia berunding.

Akibatnya, Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri dan menjadi ketua perundingan Renville akhir 1947 merasa terjepit. Sebagian partai politik seperti Masyumi dan PNI, yang semula menentang kebijakan yang ditempuh Amir saat menandatangani Perjanjian Renville, tapi Amir setelah meletakkan jabatan sebagai Perdana Menteri – lalu digantikan oleh Mohammad Hatta – malah kedua partai tersebut justru mendukung pemerintahan yang baru dalam melakukan negosiasi dengan Belanda melalui jasa Komisi Tiga Negara (Amerika Serikat, Belgia dan Australia).

Yang menjadi menarik adalah, mengapa sikap Pemerintahan Hatta dan pendukungnya lalu melunak untuk melakukan negosiasi dengan Belanda melalui jasa KTN? Di sinilah sikap AS yang mulai tampak untuk campur tangan secara langsung dalam konflik internal di Indonesia. Masalah ini kian memanas dengan iklim perang pengaruh AS versus Soviet di berbagai wilayah dunia umumnya dan Asia Tenggara khususnya. Dan, peristiwa penting sepanjang 1948, terutama di dua kota besar Jawa (Solo dan Madiun), tak bisa dilepaskan dari perang pengaruh kekuatan raksasa dunia di masa itu.

Kesaksian Sumarsono, Mantan Gubernur Militer Madiun

“Belanda, Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat berusaha keras menguasai Asia Tenggara sehabis Perang Dunia kedua. Tapi kebangkitan kekuatan rakyat, dan munculnya Partai-Partai Komunis di Indocina, Malaya, Birma, Indonesia dan Filipina merupakan tantangan berbahaya bagi kekuasaan pembela kolonialisme,” tulis Suar Suroso, dalam bukunya Bung Karmo: Korban Perang Dingin” (2008).

Tak berlebihan, analisa seperti itu. Banyak pengamat asal Barat pun sepakat tentang hal tersebut. Tragisnya, banyak temuan baru yang mengarah pada sebuah upaya kolaborasi antara pihak Barat dengan elit pemerintah di dalam negeri pada waktu itu.
Misalnya saja, kesaksian Soemarsono, 88 tahun, mantan Gubernur Militer Madiun dari unsur Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) ketika pecah perang saudara tahun 1948.

Dalam kisahnya, Sumarsono mengemukakan adanya konspirasi yang kemudian dikenal dengan sebutan “Pertemuan Sarangan” atau “Red Drive Proposals.” Intinya, pada 21 Juli 1948 di Sarangan (daerah perbukitan di Utara Madiun, perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah), diadakan konferensi rahasia yang dihadiri oleh Merle Cochran (wakil dari AS untuk Komisi Tiga Negara), Hopkins (Penasehat Presiden Truman), serta dari Indonesia adalah Bung Karno, Hatta, Sukiman, Natsir, Moh Rum dan Sukamto.

Maksud dari pertemuan tersebut adalah upaya menyingkirkan kekuatan “kelompok kiri”. Ketika itu, Muso, kader PKI yang lama hijrah ke Uni Soviet, juga telah tiba ke Tanah Air dan mulai menarik simpati masyarakat untuk bergabung ke dalam PKI. Sayap PKI pun saat itu meluas, seperti di Pesindo, Front Demokrasi Rakyat (FDR), Partai Sosialis, Barisan Tani Indonesia (BTI) hingga Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Kekuatan “kelompok kiri” ketika itu berkonsentrasi di Solo (Gubernur Militer Wikana) dan Madiun (basis dari Pesindo).

Semenjak posisi Perdana Menteri beralih dari Amir Sjarifuddin beralih ke Hatta, maka program sapu bersih pun berjalan. Hatta, yang memberikan peluang besar bagi pihak Barat – khususnya Amerika Serikat – untuk berunding, telah memberikan banyak kelonggaran agar posisi Indonesia lebih cepat diakui secara internasional. Itu sebabnya, dalam “Pertemuan Sarangan”, khabarnya, program “sapu bersih” untuk “kelompok kiri” yang ditekankan oleh Amerika Serikat kepada Pemerintahan Hatta disepakati.

Meski sampai saat ini bukti otentik tentang isi dari “Pertemuan Sarangan” belum dijumpai, tapi indikasi yang menguatkan adanya campurtangan AS ketika sebelum meletus Peristiwa Solo-Madiun begitu nyata.

Seperti dikupas dalam buku Indonesia Merdeka Karena Amerika?, dikemukakan bahwa Cochran diberikan wewenang penuh untuk memainkan peran AS yang sesungguhnya dalam membendung pengaruh komunisme internasional. Cochran, juga dibantu oleh Atase Konsuler J. Camphell ketika di Indonesia, yang merupakan agen ruguler CIA pertama bertugas di Indonesia. Cochran pun memiliki akses langsung ke Wakil Menteri Luar Negeri AS Robert Lovett yang sangat berkuasa.

Alhasil, setelah adanya kesepakatan antara AS dan Indonesia, keluarlah keputusan untuk merampingkan tentara, yang disebut dengan Program Re-Ra (Reorganisasi dan Rasionalisasi).

Yang paling terpukul dari program ini adalah kesatuan dari “Kelompok Kiri”, yang di masa itu pasukannya paling banyak dan lengkap persenjataannya, yakni Pesindo di Madiun dan Divisi Panembahan Senopati di Solo. Tiba-tiba lagi, awal Juli 1948, Komandan Divisi tersebut, Kolonel Soetarto yang sangat dikagumi dan disegani oleh pasukan manapun, ditembak mati tanpa diketahui pelakunya.
Sejak itulah, kota Solo mulai mencekam. Aksi saling culik dan bunuh pun merebak.

Mulanya Madiun tidak terpancing. Lambat laun, pasukan dari Siliwangi yang telah masuk ke Solo, pun mulai memasuki Madiun dan pecahlah perang saudara.

Presiden Soekarno turun tangan, dan menjatuhkan ultimatum tegas: pilih dirinya atau Muso? “Kelompok Kiri” akhirnya dipihak yang kalah. Dan yang paling tragis, pada tengah malam 19 Desember 1948, bekas Menteri Penerangan I dan Perdana Menteri ke-2 RI, Amir Sjarifuddin beserta 10 pengikutnya, dieksekusi mati oleh tentara Indonesia sendiri tanpa melalui proses peradilan.

Berdasarkan kesaksian Sumarsono yang cukup penting tersebut, sudah selayaknya para sejarawan mulai menggali lebih lanjut Red Drive Proposal yang diajukan pemerintahan Amerika Serikat kepada pemerintahan Perdana Menteri Hatta. Sebab jika kesaksian Sumarsono memang benar adanya, maka tak pelak lagi Red Drive Proposal bisa disebut sebagai tonggak-tonggak yang mengawali adanya campur tangan Amerika Serikat dalam urusan dalam negeri Indonesia.

Alhasil, campur tangan Amerika dalam membantu para pemberontak PRRI di Sumatera Barat dan Permesta di Sulawesi Utara, serta keterlibatan Amerika dalam membantu fron anti komunis dalam membasmi PKI berikut para petinggi partai pada 1965, justru merupakan kelanjutan logis dari fondasi yang telah ditanam melalui Red Drive Proposal.

filsafat

Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar.[1] Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.

Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.

Etimologi

Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”.

Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".

klasifikasi
Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama , menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun.

Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar belakang agama.

Menurut wilayah, filsafat bisa dibagi menjadi: filsafat barat, filsafat timur, dan filsafat Timur Tengah. Sementara, menurut latar belakang agama, filsafat dibagi menjadi: filsafat Islam, filsafat Budha, filsafat Hindu, dan filsafat Kristen.

Filsafat Barat

Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi filsafat orang Yunani kuno.

Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.

Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu.

* Metafisika mengkaji hakikat segala yang ada. Dalam bidang ini, hakikat yang ada dan keberadaan (eksistensi) secara umum dikaji secara khusus dalam Ontologi. Adapun hakikat manusia dan alam semesta dibahas dalam Kosmologi.

* Epistemologi mengkaji tentang hakikat dan wilayah pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.

* Aksiologi membahas masalah nilai atau norma yang berlaku pada kehidupan manusia. Dari aksiologi lahirlah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia: etika dan estetika.

* Etika, atau filsafat moral, membahas tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak dan mempertanyakan bagaimana kebenaran dari dasar tindakan itu dapat diketahui. Beberapa topik yang dibahas di sini adalah soal kebaikan, kebenaran, tanggung jawab, suara hati, dan sebagainya.

* Estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.


Filsafat Timur

Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Republik Rakyat Cina dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama.

Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Sidharta Budha Gautama/Budha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.

Filsafat Timur Tengah

Filsafat Timur Tengah dilihat dari sejarahnya merupakan para filsuf yang bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam dan juga beberapa orang Yahudi, yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafah mereka.

Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa.

Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah adalah Ibnu Sina, Ibnu Tufail, Kahlil Gibran dan Averroes.


Filsafat Kristen

Filsafat Kristen mulanya disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman di abad pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada dalam zaman kegelapan (dark age). Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan agamanya.

Filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah ontologis dan filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf Kristen adalah teologian atau ahli masalah agama. Sebagai contoh: Santo Thomas Aquinas dan Santo Bonaventura.

Munculnya Filsafat

Filsafat, terutama Filsafat barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada [agama] lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.

Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.

Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.

Buku karangan plato yg terkenal adalah berjudul "etika, republik, apologi, phaedo, dan krito.

Sejarah Filsafat Barat

Sejarah Filsafat Barat bisa dibagi menurut pembagian berikut: Filsafat Klasik, Abad Pertengahan, Modern dan Kontemporer.

Klasik

"Pra Sokrates": Thales - Anaximander - Anaximenes - Pythagoras - Xenophanes - Parmenides - Zeno - Herakleitos - Empedocles - Democritus - Anaxagoras

"Zaman Keemasan": Sokrates - Plato - Aristoteles.

Abad Pertengahan

"Skolastik": Thomas Aquino.

Modern

Machiavelli - Giordano Bruno - Francis Bacon - Rene Descartes - Baruch de Spinoza- Blaise Pascal - Leibniz - Thomas Hobbes - John Locke - George Berkeley - David Hume - William Wollaston - Anthony Collins - John Toland - Pierre Bayle - Denis Diderot - Jean le Rond d'Alembert - De la Mettrie - Condillac - Helvetius - Holbach - Voltaire - Montesquieu - De Nemours - Quesnay - Turgot - Rousseau - Thomasius - Ch Wolff - Reimarus - Mendelssohn - Lessing - Georg Hegel - Immanuel Kant - Fichte - Schelling - Schopenhauer - De Maistre - De Bonald - Chateaubriand - De Lamennais - Destutt de Tracy - De Volney - Cabanis - De Biran - Fourier - Saint Simon - Proudhon - A. Comte - JS Mill - Spencer - Feuerbach - Karl Marx - Soren Kierkegaard - Friedrich Nietzsche - Edmund Husserl.

Kontemporer

Jean Baudrillard - Michel Foucault - Martin Heidegger - Karl Popper - Bertrand Russell - Jean-Paul Sartre - Albert Camus - Jurgen Habermas - Richard Rotry - Feyerabend- Jacques Derrida - Mahzab Frankfurt

DIALEKTIKA

DIALEKTIKA

Metode Marx dikenal dengan nama-yang diperkenalkan oleh Engels-"dialektika materialisme"; yang memadukan materialisme dengan dialektika kepada suatu bentuk kesatuan organik (Dutt, 1964) Dialektika secara etimologis, dalam kata Yunani, berarti suatu seni berdiskusi dengan aturan-aturan khusus atau "seni berdebat" atau disebut juga seni penyelidikan kebenaran opini (Mayo, 1960). Metode dialektika dikembangkan dengan serius oleh kalangan Hegelian. Dialektika Hegel sebenernya mengikuti suatu silogisme. Argumen Hegel meyatakan(Mayo, 1960):

1. Ide-ide berkembang melalui proses dialektika

2. Dunia eksternal merupakan perwujudan dunia ide (kesadaran/ "Ide Absolut")

3. maka dunia eksternal berkembang atau berproses secara dialektik


Dialektika Hegel yang idealis ini ditolak Marx karena mendeduksikan hokum dialektika bukan dari kenyataan tapi dari kesadaran. Marx merubah "dialektika subjektif" Hegel ke "dialektika onjektif" Pengaruh Hegel ini mensintesis pengaruh Feuerbach yang berhasil dalam mengatasi materialisme mekanis , tapi gagal memahami materi yang bekembangan secara dialektis, yaitu perkembangan dari tahap kuantitaif ke tahap kualitatif. Ini berarti pengintegrasian materi dapat merubah pada suatu hal sama sekali baru. Dengan cara ini berati kehidupan berasal dari materi dan kesadaran manusia berasal dari kehidupan organis (Bertens,1983). Dialektika berarti "ilmu khusus" yang mencurahakan perhatiannya pada masalah hukum umum tentang gerak, perubahan, dan perkembangan.

Engels memaksudkan perkembangan / perubahan itu adalah mencakup Alam, masayarakat dan pemikiran manusia. Dialektika disebut juga "teori ilmiah" ( a scientific teory), sebuah "metoda kognisi" (a methode of cognition) dan sebuah "petunjuk aksi" (aguide to action). Ia merupakan pengetahuan tentang hukum-hukum perkembangan yang memungkinkan menganilis masa lalu (sejarah), mengerti dengan benar apa yang terjadi sekarang dan meramalkan masa depan (Dutt, 1964) Menurut Plekhanov, bapak marxisme Rusia & juga guru Lenin, dialektik bukan hanya ditemukan pada evolusi biologis tetapi juga dalam fenomena geologi, dan Lenin perubahan dialektik ini terbukti juga dalam sejarah. Penggunaan metodologi materialisme dialektik ini selanjutnya banyak digunakan pada fenomena kebihupan sosial, sehingga namanya juga dikenal sebagai "histories materialisme".

Histors materialisme dapat disimpulakan mempunyai dua ciri dasar (Siswanto, 1998) yaitu (1) historis materialisme mempelajari hokum objektif umum yang mengatur perkembangan masyarakat manusia, yaitu menyelidiki fase -fase sejarah dunia, formasi-formasi sosial-ekonomi dan sebab-sebab objektif kemunculan dan kemusnahan dan (2) histories materialisme selalu mempertmbangkan tata-hubungan keberadaan sosial dengan kesdaran sosial. Beberapa tesis dasar historis materialisme (Lenina Ilitskaya, 1978):

1. Produksi benda-benda dan sarana-sarana produksi materil atau sistem produksi adalah basis sejarah. Ideologi tidak lebih daripada terjemahan barang-barang material yangmengendap dalam kepala manusia.

2. Sejarah buakan aktifitas individu tapi aktifitas massa, group, kerja semua orang. Masyarakat merupakan kompleks fenomena tertinggi yang terjadi karena berbagai relasi dan koneksi.

3. Sejarah merupakan sebuah proses yang objektif. Sejarah berkembang seperti halnya proses berkembangnya alam, bebas dari intensi manusia

4. Sejarah berkembang dari tahap paling rendah kepada tahap yang paling tinggi melalui pertentangan dan perjuangan kelas menuju masyarakat komunis, yaitu maysrakat tanpa kelas.

Klik disini untuk m

EMPIRISME

EMPIRISME
Pengertian Pokok
Empirisme berasal dari kata Yunani yaitu "empiris" yang berarti pengalaman inderawi. Oleh karena itu empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalanan dan yang dimaksudkan dengannya adalah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia. Pada dasarnya Empirisme sangat bertentangan dengan Rasionalisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari ratio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. sebaliknya Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna.

DUALISME

DUALISME
a. Pengertian Pokok.
Dualisme adalah ajaran atau aliran/faham yang memandang alam ini terdiri atas dua macam hakekat yaitu hakekat materi dan hakekat rohani. Kedua macam hakekat itu masing-masing bebas berdiri sendiri, sama azazi dan abadi. Perhubungan antara keduanya itu menciptakan kehidupan dalam alam Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakekat ini adalah terdapat dalam diri manusia.

b. Tokoh-tokohnya.
1. Plato (427 -347 Sb.H)
2. Aristoteles (384 -322 Sb.H)
3. Descartes (1596 -1650)
4. Fechner (1802 -1887)
5. Arnold Gealinex
6 .Leukippos
7. Anaxagoras
8. Hc. Daugall
9. A. Schopenhauer (1788 -1860)

hermeneutik

Definisi hermeneutika masihlah terus berkembang. Menurut Richard E. Palmer, definisi hermeneutika setidaknya dapat dibagi menjadi enam. Sejak awal, hermeneutika telah sering didefinisikan sebagai ilmu tentang penafsiran (science of interpretation).[1] Akan tetapi, secara luas, hermeneutika juga sering didefinisikan sebagai, pertama, teori penafsiran Kitab Suci (theory of biblical exegesis). Kedua, hermeneutika sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology). Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of all linguistic understanding). Empat, hermeneutika sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological foundation of Geisteswissenschaften). Lima, hermeneutika sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of existence dan of existential understanding). Dan enam, hermeneutika sebagai sistem penafsiran (system of interpretation). Hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun secara personal, untuk memahami makna yang terkandung dalam mitos-mitos ataupun simbol-simbol.

Keenam definisi tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan pendekatan yang sangat penting didalam problem penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing, mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan, dari tindakan manusia menafsirkan, terutama penafsiran teks.[2] Tulisan ini mau memberikan kerangka menyeluruh tentang keenam definisi tersebut, yang lebih banyak berfungsi sebagai pengantar pada arti sesungguhnya dari hermeneutika.

logis dan rasional

Kant mengatakan bahwa apa yang kita katakan rasional itu ialah suatu pemikiran
yang masuk akal tetapi menggunakan aturan hukum alam. Dengan kata lain, menurut
Kant rasional itu ialah kebenaran akal yang diukur dengan hukum alam.

Kesimpulannya:
1. Sesuatu yang rasional ialah sesuatu yang mengikuti atau sesuai dengan hukum alam.
2. Yang tidak rasional ialah yang tidak sesuai dengan hukum alam
3. Kebenaran akal diukur dengan hukum alam

Jadi, di sini, akal itu sempit aja, hanya sebatas hukum alam. Itulah sebabnya
saya dapat mengatakan bahwa pemikiran yang rasional sebenarnya belum dapat disebut
pemikiran tingkat sangat tinggi. Pemikiran rasional belum mampu mengungkap sesuatu
yang tidak dapat diukur dengan hukum alam.

Kebenaran logis terbagi dua, pertama logis-rasional, seperti yang telah
diuraikan diatas tadi, kedua logis-supra-rasioanal. Logis-supra-rasional ialah pemikiran
akal yang kebenarannya hanya mengandalkan argumen, ia tidak diukur dengan hukum
alam. Bila argumennya masuk alkal maka ia benar, sekalipun melawan hukum alam.
Dengan kata lain ukuran kebenaran logis-supra-rasional ialah logika yang ada di dala
susunan argumennya. Kebenaran logis-supra-rasional itu ialah kebenaran yang masuk
akal sekalipun melawan hukum alam.

Kita dapat membuat beberapa ungkapan sebagai berikut:
1. Yang logis ialah yang masuk akal.
2. Yang logis itu mencakup yang rasional dan yang supra-rasional.
3. Yang rasiona ialah yang masuk akal dan sesuai dengan hukum alam.
4. Yang supra-rasional ialah yang masuk akal sekalipuntidak sesuai dengan hukum
alam.
5. Istilah logis boleh dipakai dalam pengertian rasional atau dalam pengertian supra-
rasional.

Etika kant

Etika

Dalam Grundlegung zur Metaphysik der Sitten, filsafat Yunani bisa dibagi menjadi 3 bagian yaitu logika, fisika, dan etika. Logika bersifat a priori tapi fisika dan etika memiliki unsur2 a priori dan empiris. Ilmu fisika apriori-empiris ini disebut ilmu alam (Naturlehre) sedangakan ilmu etika apriori-empiris disebut ilmu kesusilaan (Sittenlehre) Metafisika kesusilaan (Metaphysik der Sitten): etika a priori Antropologi praktis (praktische Anhropologie): etika yang bersifat empiris atau aposteriori Moralitas dan Legalitas Legalitas Moralitas Moralitas heterenom Moralitas otonom otonomi kehendak (Autonomie des Willens) Tindakan manusia didasarkan pada dua prinsip:

Maxime : prinsip yang berlaku secara subjektif Prinsip atau kaidah objektif imperative Imperatif hipotesis : perintah bersyarat, berlaku secara umum. Imperatif kategoris : perintah mutlak, berlaku umum, selalu dan dimana-mana (universal) Budi praktis selalu "mampu" kewajiban selalu dapat dilakukan Du kannst, denn du sollst! Kehendak dan hukum adalah satu --> budi praktis yang murni (reine praktische Vernunft) Azas kesusilaan yang transenden.

Kewajiban sebagai Dasar Tindakan Moral Satu-satunya hal baik tanpa kualifikasi atau pengecualian adalah "kehendak baik" (guter Wille) Keharusan itu selalu merupakan kehendak. Pembedaan antarao tindakan "sesuai dengan kewajiban" (pflichtmässig) yaitu tindakan yang dilakukan bukan karena kecenderungan langsung, melainkan semata-mata demi maksud-maksud kepentingan itu sendiri o tindakan yang dilakukan "demi kewajiban" (aus Pflicht) cinta patologis (pathologische Liebe) : cinta reaksional, emosional, spontan-alamiah cinta praktis (Prakriche Liebe) : cinta karena kewajiban, terdapat dalam kehendak tindakan berdasarkan kewajiban ini memiliki nilai moralnya dari prinsip formal atau maxim formal, bukan dari maxim material yaitu prinsip subjektif yang memerintahkan orang untuk melakukan eprbuatan tertentu ini atau itu demi mencapai tujuan tertentu juga

Alam Akal

Alam Akal
Kaum Rasionalis, selain alam tabi'at atau alam fisika, meyakini bahwa akal merupakan sumber pengetahuan yang kedua dan sekaligus juga sebagai alat pengetahuan. Mereka menganggap akal-lah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan sedangkan indra hanya pembantu saja. Indra hanya merekam atau memotret realita yanng berkaitan dengannya, namun yang menyimpan dan mengolah adalah akal. Karena kata mereka, indra saja tanpa akal tidak ada artinya. Tetapi tanpa indra pangetahuan akal hanya tidak sempurna, bukan tidak ada.

Aktivitas-aktiviras Akal Menarik kesimpulan. Yang dimaksud dengan menarik kesimpulan adalah mengambil sebuah hukum atas sebuah kasus tertentu dari hukum yang general. Aktivitas ini dalam istilah logika disebut silogisme kategoris demonstratif. Mengetahui konsep-konsep yang general. Ada dua teori yang menjelaskan aktivitas akal ini, pertama, teori yang mengatakan bahwa akal terlebih dahulu menghilangkan ciri-ciri yang khas dari beberapa person dan membiarkan titik-titik kesamaan mereka. Teori ini disebut dengan teori tajrid dan intiza'. Kedua, teori yang mangatakan bahwa pengetahuan akal tentang konsep yang general melalui tiga tahapan, yaitu persentuhan indra dengan materi, perekaman benak, dan generalisasi. Pengelompokan Wujud. Akal mempunyai kemampuan mengelompokkan segala yang ada di alam realita ke beberapa kelompok, misalnya realita-realita yang dikelompokkan ke dalam substansi, dan ke dalam aksdensi (yang sembilan macam).Pemilahan dan Penguraian. Penggabungan dan Penyusunan. Kreativitas.

Filsafat Yunani

Filsafat Yunani

Para sarjana filsafat mengatakan bahwa mempelajari filsafat Yunani berarti menyaksikan kelahiran filsafat. Karena itu tidak ada pengantar filsafat yang lebih ideal dari pada study perkembangan pemikiran filsafat di negeri Yunani. Alfred Whitehead mengatakan tentang Plato: "All Western phylosophy is but a series of footnotes to Plato". Pada Plato dan filsafat Yunani umumnya dijumpai problem filsafat yang masih dipersoalkan sampai hari ini. Tema-tema filsafat Yunani seperti ada, menjadi, substansi, ruang, waktu, kebenaran, jiwa, pengenalan, Allah dan dunia merupakan tema-tema bagi filsafat seluruhnya.

Filsuf- Filsuf Pertama

Ada tiga filsuf dari kota Miletos yaitu Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Ketiganya secara khusus menaruh perhatian pada alam dan kejadian-kejadian alamiah, terutama tertarik pada adanya perubahan yang terus menerus di alam. Mereka mencari suatu asas atau prinsip yang tetap tinggal sama di belakang perubahan-perubahan yang tak henti-hentinya itu. Thales mengatakan bahwa prinsip itu adalah air, Anaximandros berpendapat to apeiron atau yang tak terbatas sedangkan Anaximenes menunjuk udara.

Thales juga berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang bumi, Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain. Sedangkan mengenai kehidupan bahwa semua makhluk hidup berasal dari air dan bentuk hidup yang pertama adalah ikan. Dan manusia pertama tumbuh dalam perut ikan. Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan jagat raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.

Filosof berikutnya yang perlu diperkenalkan adalah Pythagoras. Ajaran-ajarannya yang pokok adalah pertama dikatakan bahwa jiwa tidak dapat mati. Sesudah kematian manusia, jiwa pindah ke dalam hewan, dan setelah hewan itu mati jiwa itu pindah lagi dan seterusnya. Tetapi dengan mensucikan dirinya, jiwa dapat selamat dari reinkarnasi itu. Kedua dari penemuannya terhadap interval-interval utama dari tangga nada yang diekspresikan dengan perbandingan dengan bilangan-bilangan, Pythagoras menyatakan bahwa suatu gejala fisis dikusai oleh hukum matematis. Bahkan katanya segala-galanya adalah bilangan. Ketiga mengenai kosmos, Pythagoras menyatakan untuk pertama kalinya, bahwa jagat raya bukanlah bumi melainkan Hestia (Api), sebagaimana perapian merupakan pusat dari sebuah rumah.

FILOSOFIS PENDIDIKAN

FILOSOFIS PENDIDIKAN

1. PENGERTIAN FILSAFAT

Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.

Ciri-ciri berfikir filosfi :

  1. Berfikir dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi.

  2. Berfikir secara sistematis.

  3. Menyusun suatu skema konsepsi, dan

  4. Menyeluruh.

Empat persoalan yang ingin dipecahkan oleh filsafat ialah :

  1. Apakah sebenarnya hakikat hidup itu? Pertanyaan ini dipelajari oleh Metafisika

  2. Apakah yang dapat saya ketahui? Permasalahan ini dikupas oleh Epistemologi.

  3. Apakah manusia itu? Masalah ini dibahas olen Atropologi Filsafat.

Beberapa ajaran filsafat yang telah mengisi dan tersimpan dalam khasanah ilmu adalah:

  1. Materialisme, yang berpendapat bahwa kenyatan yang sebenarnya adalah alam semesta badaniah. Aliran ini tidak mengakui adanya kenyataan spiritual. Aliran materialisme memiliki dua variasi yaitu materialisme dialektik dan materialisme humanistis.

  2. Idealisme yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani atau intelegesi. Variasi aliran ini adalah idealisme subjektif dan idealisme objektif.

  3. Realisme. Aliran ini berpendapat bahwa dunia batin/rohani dan dunia materi murupakan hakitat yang asli dan abadi.

  4. Pragmatisme merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak bersikap mutlak (absolut) tidak doktriner tetapi relatif tergantung kepada kemampuan minusia.

Manfaat filsafat dalam kehidupan adalah :

  1. Sebagai dasar dalam bertindak.

  2. Sebagai dasar dalam mengambil keputusan.

  3. Untuk mengurangi salah paham dan konflik.

  4. Untuk bersiap siaga menghadapi situasi dunia yang selalu berubah.

2. FILSAFAT PENDIDIKAN

Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.

Beberapa aliran filsafat pendidikan;

  1. Filsafat pendidikan progresivisme. yang didukung oleh filsafat pragmatisme.

  2. Filsafat pendidikan esensialisme. yang didukung oleh idealisme dan realisme; dan

  3. Filsafat pendidikan perenialisme yang didukung oleh idealisme.

Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

3. ESENSIALISME DAN PERENIALISME

Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.

Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.

Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang mengenai nilai tersehut. Menunut realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut idealisme, pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai- nilai yang telah teruji keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa.

Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut. perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.

Beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:

  1. Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal (Plato)

  2. Perkemhangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya ( Aristoteles)

  3. Pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. (Thomas Aquinas)

Adapun norma fundamental pendidikan menurut J. Maritain adalah cinta kebenaran, cinta kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi serta cinta kerjasama.

4. PENDIDIKAN NASIONAL

Pendidikan nasional adalah suatu sistem yang memuat teori praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat bangsa yang bersangkutan guna diabdikan kepada bangsa itu untuk merealisasikan cita-cita nasionalnya.

Pendidikan nasional Indonesrn adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan pratek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh flisafat bangsa Indonesia yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia guna memperlanar mencapai cita-cita nasional Indonesia.

Filsafat pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa "Pancasila" yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia.

Selasa, 27 September 2011

HUKUM TATA NEGARA DARURAT

NEGARA DARURATHukum tata negara darurat mungkin belum akrab di telinga masyarakat luas. Hukum tata negara darurat sebagi bagian dari sistem hukum bernegara. Dalam sebuah pemerintahan kadangkala terjadi sebuah keadaan yang tidak dapat diprediksi dan bersifat mendadak. Keadaan demikan sering menimbulkan keadaan darurat. Keadaan darurat disini berarti keadaan yang dapat menimbulkan akibat yang tidak dapat diprediksi. Ketika keadaan darurat terjadi maka pranata hukum yang ada terkadang tidak berfungsi untuk menjangkaunya. Untuk itulah dibutuhkan perangkat aturan hukum tertentu yang dapat melakukan pengaturan dalam keadaan darurat.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai hukum tata negara darurat kita harus mengetahui definisinya. Menurut herman sihombing, merupakan hukum tata negara dalam keadaan bahaya, yakni sebuah rangkaian pranata dan wewenang secara luar biasa dan istimewa untuk dalam waktu sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan keadaan darurat atau bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan biasa menurut perundang-undangan dan hukum yang umum dan biasa.

Dalam keadaan normal sistem norma hukum diberlakukan berdasarkan konstitusi dan produk hukum lain yang resmi. Dalam keadaan abnormal sistem hukum tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik. Maka pengaturan keadaan darurat mempuinyai arti penting sebagai dasar hukum bagi pemerintah mengambil tindakan guna mengatasi keadaan abnormal tersebut. Pada keadaan abnormal (darurat) pranata hukum yang diciptakan untuk keadaan normal tidak dapat bekerja.

Hukum tata negara darurat menurut doktrin ada dua yakni hukum tata negara darurat objektif dan subjektif. Hukum tata negara darurat subjektif adalah hak negara untuk bertindak dalam keadaan bahaya atau darurat dengan cara menyimpang dari ketentuan undang-undang atau bahkan ketentuan undang-undang dasar. Sedangkan hukum tata negara darurat objektif adalah hukum tata negara yang berlaku ketika negara berada dalam keadaan darurat, bahaya, atau genting.

Keadaan bahaya atau darurat harus dapat didefinisikan. Pemberian cakupan ini bertujuan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh penguasa. Karena dalam keadaan tersebut negara dapat melakukn tindakan apapun termasuk membatasi hak warga negara. Kim Lane mengemukakan keadaan darurat menyangkut hal yang ekstrim, di luar kebiasaan. Sehingga negara perlu melanggar prinsip yang dianutnya sendiri guna menyelamatkan diri dari keadaan tersebut.

Dalam konstitusi indonesia diatur tentang keadaan darurat pada pasal 12 dan pasal 22 UUD 45.

Pasal 12 : “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”
Pasal 22 : “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”

Pengaturan tersebut tidak dilakukan secara tegas sehinga sulit mengetahui apakah suatu peristiwa dapat dikategorikan sebagai keadaan darurat. UU Prp No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya membagi keadaan darurat menjadi tiga yakni darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang. Undang-undang tersebut mengatur tiga kriteria untuk menentukan suatu keadaan darurat :
1.keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan, atau akibat bencana alam sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat kelengkapan negara secara biasa;
2.timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah negara republik Indonesia
Keputusan pemberlakuan keadaan darurat dilakukan oleh presiden melalui peraturan presiden (perpres). Hal ini berdasarkan UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Keadaan yang seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai keadan berbahaya atau darurat? Ada banyak pendapat dan doktrin dari para ahli hukum mengenai hal ini. Namun saya mencoba mengambil simpulan dari Jimly Asshiddiqie. Jimly menyatakan:
1.keadaan bahaya karena ancaman perang yang datang dari luar
2.keadaan bahaya karena tentara nasional sedang berperang di luar negeri
3.keadaan bahaya karena perang di dalam negeri atu pemberontakan
4.keadaan bahaya karena kerusuhan sosial
5.keadaan bahaya karena bencana alam
6.keadaan bahaya karena tertib hukum dan administrasi yang terganggu
7.keadaan bahaya karena kondisi keuangan negara
8.keadaan lain dimana fungsi konstitusional tidak dapat bekerja

Keadaan darurat menuntut negara untuk mengambil tindakan sesegera mungkin dan meminimalisir resiko yang terjadi. Dalam hal tindakan yang dapat diambil menurut Vinkat Iyer tindakan darurat meliputi:
1.kewenangan menangkap (power of arrest)
2.kewenangan menahan (power of detention)
3.pembatasan atas kebebasan fundamental (power imposing restriction of fundamental freedom)
4.kewenangan terkait perubahan prosedur pengadilan dan pemidanaan (power concerning modification of trial procedures and punishment)
5.kewenanan membatasi atasa akses ke pengadilan (power imposing restriction on access to the judiciary)
6.kewenangan atas imunitas yang dinikmati polisi, aparat keamanan, dan yang lainnya (power concerning immunities enjoyed by the police and member of security forces and so on)


Asas dalam pemberlakuan keadaan darurat:

1.asas proklamasi
Keadaan darurat harus diumumkan atau diproklamirkan kepada seluruh masyarakat. Bila keadaan darurat tersebut tidak diproklamirkan maka tindakan yang diambil oleh pemerintah tidak mendapat keabsahan.

2.asas legalitas
Asas legalitas disini berkaitan dengan tindakan yang diambil oleh negara dalam keadaan darurat. Tindakan yang diambil harus tetap dalam koridor hukum, baik hukum nasional maupun hukum internasional.

3.asas komunikasi
Negara yang mengalami keadaan darurat harus mengkomunikasikan keadaan tersebut kepada seluruh warga negara. Selain kepada warganya pemerintah juga harus memberitahukan kepada negara lain secara resmi. Pemberitahuan dilakukan melalui perwakilan negara bersangkutan dan kepada pelapor khusus PBB “special rapporteur on state of emergency”

4.asas kesementaraan
Dalam penetapan keadaan darurat harus ada kepastian hukum yakni jangka waktu pemberlakuan keadaan darurat. Hal ini dikarenakan negara dalam keadaan darurat dapat mencederai hak dasar warga negara. Sehingga pemberlakuan keadaan darurat harus jelas mengenai awal pemberlakuan dan waktu berakhirnya.

5.asas keistimewaan ancaman
Krisi yang menimbulkan keadaaan darurat harus benar-benar terjadi atau minimal mengandung potensi bahaya yang siap mengancam negara. Ancaman yang ada haruslah bersifat istimewa. Keistimewaan tersebut karena menimbulkan ancaman terhadap nyawa, fisik, harta-benda, kedaulatan, keselamatan dan eksistensi negara, atau peri kehidupan bersama dalam sebuah negara.

6.asas proporsionalitas
Tujuan pemberlakuan keadaan darurat adalah agar negara dapat mengembalikan dalam keadaan semula dengan waktu yang cepat. Oleh karena itu tindakan yang diambil haruslah tepat sesuai dengan gejala yang terjadi. Jangan sampai negara mengambil tindakan yang tidak sesuai dan cenderung berlebihan.

7.asas intangibility
Asas ini terkait dengan hak asasi manusia. Dalam keadaan darurat pemerintah tidak boleh membubarkan organ pendampingnya yakni legislatif maupun yudikatif.

8.asas pengawasan
Pemberlakuan keadaan darurat juga harus mendapatkan kontrol. Harus mematuhi prinsip negara hukum dan demokrasi. Parlemen harus mengawasi jalannya keadaan darurat sebagai bentuk mekanisme “check and balances”.keadaan darurat tidak mengurangi kewenangan mengawasi kebijakan yang diambil pemerintah.

Dalam keadaan darurat negara bisa mengurangi sebagian dari hak asasi manusia. Namun negara tidak boleh mengurangi sedikit pun hak dasar manusia (non derogable rights). Berikut ini hak dasar manusia:
1.hak untuk hidup
2.hak untuk tidak disiksa
3.hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani
4.hak beragama
5.hak untuk tidak diperbudak
6.hak untuk diakui sebagai pribadi da hadapan hukum
7.hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut

Hukum tata negara darurat menjadi penting karena terkait dengan pelanggaran hak dasar warga negara yang mungkin terjadi dalam keadaan darurat tersebut. Keadaan darurat membolehkan apa yang tidak boleh sebagaimana istilah “onrecht word rech”, yang semula tidak boleh menjadi boleh atau bahkan melarang hal yang semula dibolehkan. Kata darurat sendiri berasal dari bahasa Arab yakni “dhorurot” yang berarti keadaan mendesak. Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat membantu siapa saja yang membutuhkan informasi mengenai hukum tata negara darurat.

DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

-----

DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA[1]

Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.[2]

A. Demokrasi, HAM, dan Negara

HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.

Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan.

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta.[3] Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.

Kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis.[4] Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi diatas akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter.

Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial,[5] untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya.

Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.[6]

Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.[7]

Sebagaimana telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebe­narnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disah­kan sebe­lum­nya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27 materi berikut:

1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memper­tahankan hidup dan kehidupannya[8].

2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjut­kan keturunan melalui perkawinan yang sah[9].

3. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari ke­ke­rasan dan diskriminasi[10].

4. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskri­minatif atas dasar apapun dan berhak mendapat­kan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat dis­kri­mi­natif itu[11].

5. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menu­rut aga­ma­nya, memilih pendidikan dan pengajaran, me­mi­­­lih peker­jaan, memilih kewarganegaraan, memilih tem­pat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali[12].

6. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini keperca­yaan, me­nya­takan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya[13].

7. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkum­pul, dan mengeluarkan pendapat[14].

8. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memper­oleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan ling­kungan sosial­nya serta berhak untuk mencari, mem­per­oleh, memiliki, menyim­pan, mengolah, dan menyam­pai­kan informasi dengan menggu­nakan segala jenis saluran yang tersedia[15].

9. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, ke­luar­ga, ke­hor­matan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekua­saannya, serta berhak atas rasa aman dan per­lindungan dari an­caman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi[16].

10. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak mem­peroleh suaka politik dari negara lain[17].

11. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, ber­tempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kese­hatan[18].

12. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perla­ku­an khu­sus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan[19].

13. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memung­kinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manu­sia yang ber­martabat[20].

14. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewe­nang-wenang oleh siapapun[21].

15. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pe­me­nuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidik­an dan memper­oleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kese­jah­teraan umat manusia[22].

16. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam mem­perjuangkan haknya secara kolektif untuk mem­ba­ngun ma­sya­rakat, bangsa dan negaranya[23].

17. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlin­dung­an, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadap­an hukum[24].

18. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbal­an dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja[25].

19. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan[26].

20. Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut[27].

21. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkem­bangan zaman dan tingkat peradaban bangsa[28].

22. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral ke­ma­nu­siaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan men­ja­min kemer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk me­me­luk dan menjalankan ajaran agamanya[29].

23. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, ter­utama pemerintah[30].

24. Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi ma­nusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, ma­ka pelaksanaan hak asasi manusia dija­min, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan[31].

25. Untuk menjamin pelaksanaan Pasal 4 ayat (5) tersebut di atas, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat inde­penden menurut ketentuan yang diatur dengan undang-un­dang[32].

26. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain da­lam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan ber­negara.

27. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan de­ngan undang-undang dengan maksud semata-mata un­tuk menjamin peng­akuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertim­bangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis[33].

Jika ke-27 ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan ele­men baru yang ber­sifat menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka ru­mus­an hak asasi manusia dalam Un­dang-Undang Dasar da­pat mencakup lima kelompok materi sebagai berikut:

1. Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan men­jadi:

a. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.

b. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.

c. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbu­dakan.

d. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.

e. Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.

f. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di ha­dapan hukum.

g. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di ha­dapan hukum dan pemerintahan.

h. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

i. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melan­jutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

j. Setiap orang berhak akan status kewarganegaraan.

k. Setiap orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wi­layah negaranya, meninggalkan dan kembali ke negaranya.

l. Setiap orang berhak memperoleh suaka politik.

m. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perla­kuan dis­kriminatif dan berhak mendapatkan perlin­dungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskrimi­natif tersebut.

Terhadap hak-hak sipil tersebut, dalam keadaan apa­pun atau ba­gai­manapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan dalam Kelompok 1 “a” sampai dengan “h”. Namun, ke­tentuan tersebut tentu tidak di­mak­sud dan tidak dapat diartikan atau digunakan seba­gai dasar untuk membebaskan seseorang dari penun­tutan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diakui menurut ketentuan hukum Internasional. Pembatasan dan penegasan ini penting untuk memas­tikan bahwa ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak yang berusaha membebaskan diri dari ancaman tuntutan. Justru di sini­lah letak kontro­versi yang timbul setelah ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan beberapa waktu yang lalu.

2. Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya

a. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, ber­kum­pul dan menyatakan pendapatnya secara damai.

b. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan di­pi­lih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat.

c. Setiap warga negara dapat diangkat untuk mendu­duki ja­batan-jabatan publik.

d. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih peker­jaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan.

e. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbal­an, dan men­dapat perlakuan yang layak dalam hu­bung­an kerja yang berkeadilan.

f. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.

g. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibu­tuh­kan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang ber­martabat.

h. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mem­peroleh informasi.

i. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendi­dikan dan pengajaran.

j. Setiap orang berhak mengembangkan dan memper­oleh man­faat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.

k. Negara menjamin penghormatan atas identitas bu­da­ya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan per­kembangan za­man dan tingkat peradaban bangsa[34].

l. Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebu­dayaan nasional.

m. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kema­nusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin ke­mer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menja­lankan ajaran agamanya[35].

3. Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan

a. Setiap warga negara yang menyandang masalah so­sial, terma­suk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak men­dapat kemudahan dan per­lakuan khusus untuk mem­peroleh kesempatan yang sama.

b. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk men­capai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional.

c. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dika­renakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.

d. Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlin­dungan orangtua, keluarga, masyarakat dan ne­ga­ra bagi per­tumbuhan fisik dan mental serta per­kem­bangan pribadinya.

e. Setiap warga negara berhak untuk berperan serta da­lam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.

f. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang ber­sih dan sehat.

g. Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang ber­sifat sementara dan dituangkan dalam peraturan per­undangan-un­dangan yang sah yang dimaksudkan un­tuk menyetarakan tingkat perkembangan kelom­pok tertentu yang pernah me­nga­lami perlakuan dis­krimi­nasi dengan kelompok-kelompok lain dalam masya­rakat, dan perlakuan khusus sebagaimana di­ten­tukan dalam ayat (1) pasal ini, tidak termasuk dalam pe­nger­tian diskriminasi sebagaimana ditentu­kan dalam Pasal 1 ayat (13).

4. Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia

a. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

b. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang dite­tap­kan oleh undang-undang dengan maksud semata-ma­ta untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk meme­nuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai aga­ma, moralitas dan kesusilaan, keamanan dan keter­tib­an umum dalam masyarakat yang demokratis.

c. Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pema­juan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi ma­nusia.

d. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pem­bentukan, susunan dan kedu­dukannya diatur dengan undang-undang.

Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konsti­tusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan diang­gap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipa­hami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung­jawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidup­nya sejak sebe­lum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki seba­gai manusia. Pembentukan negara dan pemerin­tahan, untuk alas­­an apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewa­jiban yang disandang oleh setiap ma­nu­sia. Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak diten­tukan oleh kedu­dukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di ma­na­pun ia berada harus dija­min hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagai­mana mestinya. Keseim­bangan kesadaran akan ada­nya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pan­dangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Bangsa Indonesia memahami bahwa The Universal Declaration of Human Rights yang dicetuskan pada tahun 1948 merupakan per­nyataan umat manusia yang mengan­dung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia juga memandang bahwa The Universal Declaration of Human Responsibility yang dicetuskan oleh Inter-Action Council pada tahun 1997 juga mengandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi un­tuk melengkapi The Universal Declaration of Human Rights tersebut. Kesa­daran umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi Indonesia, dan karena itu, perlu di­adop­sikan ke dalam rumusan Undang-Un­dang Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikem­bangkan sen­diri oleh bangsa Indonesia. Karena itu, perumusannya dalam Undang-Undang Dasar ini mencakup warisan-warisan pemi­kiran mengenai hak asasi manusia di masa lalu dan menca­kup pula pemi­kiran-pemikiran yang masih terus akan ber­kem­bang di masa-masa yang akan datang.

B. Perkembangan Demokrasi dan HAM

Sejak awal abad ke-20, gelombang aspirasi ke arah kebe­basan dan kemerdekaan umat manusia dari penin­dasan penjajahan me­ningkat tajam dan terbuka dengan menggu­nakan pisau demokrasi dan hak asasi manusia sebagai instrumen perjuangan yang efektif dan membebaskan. Puncak perjuangan kemanusiaan itu telah menghasilkan perubahan yang sangat luas dan mendasar pada pertengahan abad ke-20 dengan munculnya gelombang dekolonisasi di seluruh dunia dan menghasilkan berdiri dan terbentuknya negara-negara baru yang merdeka dan berdaulat di berbagai belahan dunia. Perkembangan demokratisasi kembali terjadi dan menguat pasca perang dingin yang ditandai runtuhnya kekuasaan komunis Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini kemudian diikuti proses demokratisasi di negara-negara dunia ketiga pada tahun 1990-an.[36]

Semua peristiwa yang mendorong mun­culnya gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai ciri-ciri hubungan kekuasaan yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur hubungan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan antara satu pemerintahan dengan rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk kemerde­kaan dan hak asasi manusia pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah perjuangan mondial bangsa-bangsa terjajah menghadapi bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di semua negara yang terjajah secara mudah ter­bangkitkan semangatnya untuk secara bersama-sama menya­tu dalam gerakan solidaritas perjuangan anti penja­jahan.

Sedangkan yang lebih menonjol selama paruh kedua abad ke-20 adalah perjuangan rakyat melawan pemerintahan yang otoriter. Wacana demokrasi dan kerakyatan di suatu negara, tidak mesti identik dengan gagasan rakyat di negara lain yang lebih maju dan menikmati kehidupan yang jauh lebih demokratis. Karena itu, wacana demokrasi dan hak asasi manusia di zaman sekarang juga digunakan, baik oleh kalangan rakyat yang merasa tertindas maupun oleh peme­rintahan negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk mempromosikan demo­krasi dan hak asasi manusia di negara-negara lain yang dianggap tidak demokratis.

Karena itu, pola hubungan kekuasaan antar negara dan aliansi perjuangan di zaman dulu dan sekarang mengalami perubahan struktural yang mendasar. Dulu, hubungan internasional diperan­kan oleh pemerintah dan rakyat dalam hubungan yang terbagi antara hubungan Government to Government (G to G) dan hubungan People to People (P to P). Sekarang, pola hubungan itu berubah menjadi bervariasi, baik G to G, P to P maupun G to P atau P to G. Semua kemung­kinan bisa terjadi, baik atas prakarsa institusi peme­rintahan ataupun atas prakarsa perseorangan rakyat biasa. Bahkan suatu pemerintahan negara lain dapat bertindak untuk melindungi warga-negara dari negara lain atas nama perlin­dungan hak asasi manusia.[37]

Dengan perkataan lain, masalah pertama yang kita ha­dapi dewasa ini adalah bahwa pemahaman terhadap konsep hak asasi manusia itu haruslah dilihat dalam konteks rela­tionalistic perspectives of power yang tepat. Bahkan, konsep hubungan kekuasaan itu sendiripun juga mengalami perubah­an berhubung dengan kenyataan bahwa elemen-elemen kekuasaan itu dewasa ini tidak saja terkait dengan kedudukan politik melainkan juga terkait dengan kekuasaan-ke­kuasaan atas sumber-sumber ekonomi, dan bahkan tekno­logi dan industri yang justru memperlihatkan peran yang makin penting dewasa ini. Oleh karena itu, konsep dan prosedur-pro­sedur hak asasi manusia dewasa ini selain harus dilihat dalam konteks hubungan kekuasaan politik, juga harus di­kaitkan dengan konteks hubungan kekuasaan ekonomi dan industri.[38]

Dalam kaitan dengan itu, pola hubungan kekuasaan dalam arti yang baru itu dapat dilihat sebagai hubungan produksi yang menghubungkan antara kepentingan produsen dan kepentingan konsumen. Dalam era industrialisasi yang terus meningkat dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat dewasa ini, dinamika proses produksi dan konsumsi ini terus berkembang di semua sektor kehidup­an kemasya­rakatan dan kenegaraan umat manusia dewasa ini. Kebijakan politik, misalnya, selain dapat dilihat dengan kacamata biasa, juga dapat dilihat dalam konteks produksi. Negara, dalam hal ini meru­pakan produsen, sedangkan rakyat adalah konsu­mennya. Karena itu, hak asasi manusia di zaman sekarang dapt dipahami secara konseptual sebagai hak konsumen yang harus dilindungi dari eks­ploitasi demi keuntungan dan kepentingan sepihak kalangan produsen.

Dalam hubungan ini, konsep dan prosedur hak asasi manusia mau tidak mau harus dikaitkan dengan persoalan-persoalan:[39]

1. Struktur kekuasaan dalam hubungan antar negara yang dewasa ini dapat dikatakan sangat timpang, tidak adil, dan cenderung hanya menguntungkan negara-negara maju ataupun negara-negara yang menguasai dan mendo­minasi proses-proses pengambilan keputusan dalam berbagai forum dan badan-badan internasional, baik yang menyang­kut kepen­tingan-kepentingan politik maupun kepen­tingan-kepentingan ekonomi dan kebudayaan.

2. Struktur kekuasaan yang tidak demokratis di lingkungan internal negara-negara yang menerapkan sistem otori­tarianisme yang hanya menguntungkan segelintir kelas pen­duduk yang berkuasa ataupun kelas penduduk yang menguasai sumber-sumber ekonomi.

3. Struktur hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara pemodal dengan pekerja dan antara pemodal beserta mana­jemen produsen dengan konsumen di setiap ling­kungan dunia usaha industri, baik industri primer, industri manufaktur maupun industri jasa.

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pola hubungan “atas-bawah”, baik pada peringkat lokal, nasional, regional maupun global antara lain adalah faktor kekayaan dan sumber-sumber ekonomi, kewenangan politik, tingkat pendidikan atau kecerdasan rata-rata, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, citra atau nama baik, dan kekuatan fisik termasuk kekuatan militer. Makin banyak faktor-faktor tersebut di atas dikuasai oleh seseorang, atau sekelom­pok orang ataupun oleh suatu bangsa, makin tinggi pula kedudukannya dalam stratifikasi atau peringkat pergaulan bersama. Di pihak lain, makin tinggi peringkat seseorang, kelompok orang ataupun suatu bangsa di atas orang lain atau kelompok lain atau bangsa lain, makin besar pula kekuasaan yang dimilikinya serta makin besar pula potensinya untuk memperlakukan orang lain itu secara sewenang-wenang demi keuntungannya sendiri. Dalam hubungan-hubungan yang timpang antara negara maju dengan negara berkembang, antara suatu pemerintahan dengan rakyatnya, dan bahkan antara pemodal atau pengusaha dengan konsumennya inilah dapat terjadi ketidakadilan yang pada gilirannya mendorong­nya munculnya gerakan perjuangan hak asasi manusia dimana-mana. Karena itu, salah satu aspek penting yang tak dapat dipungkiri berkenaan dengan persoalan hak asasi manusia adalah bahwa persoalan ini berkaitan erat dengan dinamika perjuangan kelas (meminjam istilah Karl Marx) yang menuntut keadilan.

Sering dikemukakan bahwa pengertian konseptual hak asasi manusia itu dalam sejarah instrumen hukum internasional setidak-tidaknya telah melampaui tiga generasi perkembangan. Ketiga generasi perkembangan konsepsi hak asasi manusia itu adalah:[40]

Generasi Pertama, pemikiran mengenai konsepsi hak asasi manusia yang sejak lama berkembang dalam wacana para ilmuwan sejak era enlightenment di Eropa, meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum internasional yang resmi. Puncak perkembangan generasi pertama hak asasi manusia ini adalah pada persitiwa penandatanganan naskah Universal Declaration of Human Rights[41] Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlin­dungan hak asasi manusia itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti di Inggris dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di Amerika Serikat dengan Declaration of Indepen­dence, dan di Perancis dengan Decla­ration of Rights of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.

Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia Generasi Kedua, di samping adanya International Couvenant on Civil and Political Rights,[42] konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan penemuan-pene­muan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan ditanda­tanganinya International Couvenant on Eco­nomic, Social and Cultural Rights[43] pada tahun 1966.

Kemudian pada tahun 1986, muncul pula konsepsi baru hak asasi manusia yaitu mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau rights to development. Hak atas atau untuk pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pemba­ngunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya. Konsepsi baru inilah yang oleh para ahli disebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Ketiga.

Namun demikian, ketiga generasi konsepsi hak asasi manusia tersebut pada pokoknya mempunyai karakteristik yang sama, yaitu dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dan peme­rintahan dalam suatu negara. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia mulai dari generasi pertama sampai ketiga selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai crime by government yang termasuk ke dalam pengertian political crime (kejahatan politik) sebagai lawan dari pengertian crime against government (kejahatan terhadap kekuasaan resmi). Karena itu, yang selalu dijadikan sasaran perjuangan hak asasi manusia adalah kekuasaan represif negara terhadap rakyatnya. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman sekarang dan di masa-masa mendatang, sebagaimana diuraikan di atas dimensi-dimensi hak asasi manusia itu akan berubah makin kompleks sifatnya.

Persoalan hak asasi manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan kekua­saan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal, antar kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau masyarakat, dan bahkan antar satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan kelompok masyarakat di negara lain.

Konsepsi baru inilah yang saya sebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Keempat seperti telah saya uraikan sebagian pada bagian terdahulu. Bahkan sebagai alternatif, menurut pendapat saya, konsepsi hak asasi manusia yang terakhir inilah yang justru tepat disebut sebagai Konsepsi HAM Generasi Kedua, karena sifat hubungan kekuasaan yang diaturnya memang berbeda dari konsepsi-konsep HAM sebelumnya. Sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi Generasi Pertama bersifat vertikal, sedang­kan sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi Generasi Kedua bersifat horizontal. Dengan demikian, pengertian konsepsi HAM generasi kedua dan generasi ketiga sebelumnya cukup dipahami sebagai perkembangan varian yang sama dalam tahap pertumbuhan konsepsi generasi pertama.[44]

Menjelang berakhirnya abad ke-20, kita menyaksikan munculnya beberapa fenomena baru yang tidak pernah ada ataupun kurang mendapat perhatian di masa-masa sebelum­nya. Pertama, kita menyaksikan munculnya fenomena konglo­merasi berbagai perusahaan berskala besar dalam suatu negara yang kemudian berkembang menjadi Multi National Corporations (MNC’s) atau disebut juga Trans-National Corpo­rations (TNC’s) dimana-mana di dunia. Fenomena jaringan kekuasaan MNC atau TNC ini merambah wilayah yang sangat luas, bahkan jauh lebih luas dari jangkauan kekuasaan negara, apalagi suatu negara yang kecil yang jumlahnya sangat banyak di dunia. Dalam kaitannya dengan kekuasaan perusa­haan-peru­sahaan besar ini, yang lebih merupakan persoalan kita adalah implikasi-implikasi yang ditimbulkan oleh kekuasaan modal yang ada di balik perusa­haan besar itu terhadap kepentingan konsumen produk yang dihasilkannya. Dengan perkataan lain, hubungan kekuasaan yang dipersoalkan dalam hal ini adalah hubungan kekuasaan antara produsen dan konsumen. Masalahnya adalah bagaimana hak-hak atau kepentingan-kepentingan konsumen tersebut dapat dijamin, sehingga proses produksi dapat terus dikembangkan dengan tetap menjamin hak-hak konsumen yang juga harus dipandang sebagai bagian yang penting dari pengertian kita tentang hak asasi manusia.

Kedua, abad ke-20 juga telah memunculkan fenomena Nations without State, seperti bangsa Kurdi yang tersebar di berbagai negara Turki dan Irak; bangsa Cina Nasionalis yang tersebar dalam jumlah yang sangat besar di hampir semua negara di dunia; bangsa Persia (Iran), Irak, dan Bosnia yang terpaksa berkelana kemana-mana karena masalah-masalah politik yang mereka hadapi di negeri asal mereka. Persoalan status hukum kewarganegaraan bangsa-bangsa yang terpaksa berada di mana-mana tersebut, secara formal memang dapat diatasi menurut ketentuan hukum yang lazim. Misalnya, bangsa Kurdi yang tinggal di Irak Utara sudah tentu berkewar ganegaraan Irak, mereka yang hidup dan menetap di Turki tentu berkewarganegaraan Turki, dan demikian pula mereka yang hidup di negara-negara lain dapat menikmati status keawarganegaraan di negara mana mereka hidup. Akan tetapi, persoalan kebangsaan mereka tidak serta merta terpecahkan karena pengaturan hukum secara formal tersebut.

Ketiga, dalam kaitannya dengan fenomena pertama dan kedua di atas, mulai penghujung abad ke-20 telah pula berkem­bang suatu lapisan sosial tertentu dalam setiap masya­rakat di negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan internasional, yaitu kelompok orang yang dapat disebut sebagai global citizens. Mereka ini mula-mula berjumlah sedikit dan hanya terdiri dari kalangan korps diplomatik yang membangun kelompok pergaulan tersendiri. Di kalangan mereka ini berikut keluarganya, terutama para diplomat karir yang tumbuh dalam karir diplomat yang berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, terbentuk suatu jaringan pergaulan tersendiri yang lama kelamaan menjadi suatu kelas sosial tersendiri yang terpisah dari lingkungan masya­rakat yang lebih luas. Sebagai contoh, di setiap negara, terdapat apa yang disebut dengan diplo­matic shop yang bebas pajak, yang secara khusus melayani kebutuhan para diplomat untuk berbe­lanja. Semua ini memper­kuat kecenderungan munculnya kelas sosial tersendiri yang mendo­rong munculnya kehidupan baru di kalangan sesama diplomat.

Bersamaan dengan itu, di kalangan para pengusaha asing yang menanamkan modal sebagai investor usaha di berbagai negara, juga terbentuk pula suatu kelas sosial tersendiri seperti halnya kalangan korps diplomatik tersebut. Bahkan, banyak di antara para pekerja ataupun pengusaha asing tugasnya terus menerus di luar negeri, berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, yang jangkauan pergaulan mereka lebih cocok untuk menyatu dengan dunia kalangan diplomat seperti tersebut di atas, daripada bergaul dengan penduduk asli dari negara-negara tempat mereka bekerja ataupun berusaha. Dari kedua kelompok bisnis dan diplomatik inilah muncul fenomena baru di kalangan banyak warga dunia, meskipun secara resmi memiliki status kewarganegaraan tertentu, tetapi mobilitas mereka sangat dinamis, seakan-akan menjadi semacam global citizens yang bebas bergerak ke mana-mana di seluruh dunia.

Keempat, dalam berbagai literatur menge­nai corpo­ratisme negara, terutama di beberapa negara yang menerap­kan prosedur federal arrangement, dikenal adanya konsep corporate federalism sebagai sistem yang mengatur prinsip representasi politik atas dasar pertimbangan-pertimbangan ras tertentu ataupun pengelom­pokan kultural penduduk. Pem­bagian kelompok English speaking community dan French speaking community di Kanada, kelompok Dutch speaking community dan German speaking community di Belgia, dan prinsip representasi politik suku-suku tertentu dalam kamar parlemen di Austria, dapat disebut sebagai corporate federalism dalam arti luas. Kelompok-kelompok etnis dan kultural tersebut diperlakukan sebagai suatu entitas hukum tersendiri yang mempunyai hak politik yang bersifat otonom dan karena itu berhak atas representasi yang demo­kratis dalam institusi parlemen. Pengaturan entitas yang bersifat otonom ini, diperlukan seakan-akan sebagai suatu daerah otonom ataupun sebagai suatu negara bagian yang bersifat tersendiri, meskipun komunitas-komunitas tersebut tidak hidup dalam suatu teritorial tertentu. Karena itu, pengaturan demikian ini biasa disebut dengan corporate federalism.

Keempat fenomena yang bersifat sosio-kultural tersebut di atas dapat dikatakan bersifat sangat khusus dan membang­kitkan kesadaran kita mengenai keragaman kultural yang kita warisi dari masa lalu, tetapi sekaligus menimbulkan persoalan mengenai kesadaran kebangsaan umat manusia yang selama ini secara resmi dibatasi oleh batas-batas teoritorial satu negara. Sekarang, zaman sudah berubah. Kita memasuki era globalisasi, di mana ikatan batas-batas negara yang bersifat formal itu berkembang makin longgar. Di samping ikatan-ikatan hukum kewarganegaraan yang bersifat formal tersebut, kesadaran akan identitas yang dipengaruhi oleh faktor-faktor historis kultural juga harus turut dipertimbangkan dalam memahami fenomena hubungan-hubungan kema­nusiaan di masa mendatang. Oleh karena itu, dimensi-dimensi hak asasi manusia di zaman sekarang dan apalagi nanti juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari perubahan corak-corak pengertian dalam pola-pola hubungan yang baru itu.

Dengan perkataan lain, hubungan-hubungan kekuasaan di zaman sekarang dan nanti, selain dapat dilihat dalam konteks yang bersifat vertikal dalam suatu negara, yaitu antara peme­rintah dan rakyatnya, juga dapat dilihat dalam konteks hubung­an yang bersifat horizontal sebagaimana telah diuraikan pada bagian pertama tulisan ini. Konteks hubungan yang bersifat horizontal itu dapat terjadi antar kelompok masyarakat dalam satu negara dan antara kelompok masya­rakat antar negara. Di zaman industri sekarang ini, corak hubungan yang bersifat horizontal tersebut untuk mudahnya dapat dilihat sebagai proses produksi dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu mencakup pula pengertian produksi dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, dimana setiap kebijakan pemerintahan dapat disebut sebagai produk yang dikeluarkan oleh pemerintah yang merupakan produsen, sedangkan rakyat banyak merupakan pihak yang mengkon­sumsinya atau konsumennya. Demikian pula setiap perusa­haan adalah pro­dusen, sedangkan produk dibeli dan dikon­sumsi oleh masya­rakat konsumennya. Dengan perkataan lain, hak konsumen dalam arti yang luas ini dapat disebut sebagai dimensi baru hak asasi manusia yang tumbuh dan harus dilin­dungi dari kemungkinan penyalahgunaan atau tindakan-tindakan sewe­nang-wenang dalam hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara pihak produsen dengan konsu­mennya.

Perkembangan konsepsi yang terakhir ini dapat disebut sebagai perkembangan konsepsi hak asasi manusia generasi kelima dengan ciri pokok yang terletak dalam pemahaman mengenai struk­tur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen yang memiliki segala potensi dan peluang untuk melakukan tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil. Kita semua harus menyadari perubahan struktur hubungan kekuasaan ini, sehingga tidak hanya terpaku pada kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam pengertian konvensional saja. Hanya dengan menyadari perubahan ini kita dapat menawarkan pemecahan dalam perjuangan kolektif untuk menegakkan dan memajukan hak asasi manusia di masa yang akan datang.

C. Kewajiban Perlindungan dan Pemajuan HAM

Konsepsi HAM yang pada awalnya menekankan pada hubungan vertikal, terutama dipengaruhi oleh sejarah pelanggaran HAM yang terutama dilakukan oleh negara, baik terhadap hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai konsekuensinya, disamping karena sudah merupakan tugas pemerintahan, kewajiban utama perlindungan dan pemajuan HAM ada pada pemerintah. Hal ini dapat kita lihat dari rumusan-rumusan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang merupakan pengakuan negara terhadap hak asasi manusia sebagaimana menjadi substansi dari ketiga instrumen tersebut. Konsekuensinya, negara-lah yang terbebani kewajiban perlindungan dan pemajuan HAM. Kewajiban negara tersebut ditegaskan dalam konsideran “Menimbang” baik dalam Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam hukum nasional, Pasal 28I ayat (4) UUD 1945[45] menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama Pemerintah.

Dengan berkembangnya konsepsi HAM yang juga meliputi hubungan-hubungan horisontal mengakibatkan perluasan kategori pelanggaran HAM dan aktor pelanggarnya. Hak atas informasi dan hak partisipasi dalam pembangunan misalnya tidak hanya menjadi kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggungjawab korporasi-korporasi yang dalam aktivitasnya bersinggungan dengan kehidupan masyarakat. Keberadaan perusahaan-perusahaan mau tidak mau membawa dampak dalam kehidupan masyarakat yang sering kali mengakibatkan berkurangnya hak asasi manusia.

Persinggungan antara Korporasi dengan Hak Asasi Manusia paling tidak terkait dengan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, hak atas ketersediaan dan aksesibilitas terhadap sumber daya alam dan hak-hak pekerja. Secara lebih luas struk­tur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen juga memiliki potensi dan peluang terjadinya tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil.

Maka pelanggaran HAM tidak hanya dapat dilakukan oleh negara. Dalam pola relasi kekuasaan horisontal peluang terjadinya pelanggaran HAM lebih luas dan aktor pelakunya juga meliputi aktor-aktor non negara, baik individu maupun korporasi. Karena itulah memang sudah saatnya kewajiban dan tanggungjawab perlindungan dan pemajuan HAM juga ada pada setiap individu dan korporasi. Hal ini juga telah dinyatakan dalam “Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom”[46] pada tahun 1998.

Kewajiban dan tanggungjawab tersebut menjadi semakin penting mengingat masalah utama yang dihadapi umat manusia bukan lagi sekedar kejahatan kemanusiaan, genosida, ataupun kejahatan perang. Permasalahan yang dihadapi umat manusia saat ini lebih bersifat mengakar, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan, yang mau tidak mau harus diakui sebagai akibat eksploitasi atau paling tidak ketidakpedulian sisi dunia lain yang mengenyam kekayaan dan kemajuan. Kewajiban dan tanggungjawab korporasi dalam bentuk Corporate Social Responsibility terutama dalam Community Development, tidak seharusnya sekedar dimaknai sebagai upaya membangun citra. Kewajiban dan tanggungjawab tersebut lahir karena komitmen kemanusiaan. Kewajiban tersebut juga lahir karena kesadaran bahwa aktivitas korporasi, secara langsung maupun tidak, telah ikut menciptakan ketimpangan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Tanpa peran serta korporasi, upaya menciptakan dunia yang lebih baik, dunia yang bebas dari kelaparan dan keterbelakangan akan sulit dilakukan mengingat kekuasaan korporasi yang sering kali melebihi kemampuan suatu negara.


DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

__________, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Ferejohn, John, Jack N. Rakove, and Jonathan Riley (eds). Constitutional Culture and Democratic Rule. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.

Fukuyama, Francis. Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21. Judul Asli: State Building: Governance and World Order in the 21st Century. Penerjemah: A. Zaim Rofiqi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Giddens, Anthony. The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Judul Asli: The Constitution of Society: The Outline of the Theory of Structuration. Penerjemah: Adi Loka Sujono. Pasuruan; Penerbit Pedati, 2003.

Huntington, Samuel P. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Norman: University of Oklahoma Press, 1991.

Republik Indonesia, Himpunan Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 s/d 2002, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002.

Sabine, George H. A History of Political Theory. Third Edition. New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London: Holt, Rinehart and Winston, 1961.

Suseno, Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.



[1] Materi yang disampaikan dalam studium general pada acara The 1st National Converence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005.

[2] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

[3] Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 165, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3886.

[4] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 30 – 66.

[5] Harus diingat bahwa paling tidak terdapat tiga macam teori kontrak sosial masing-masing dikemukakan oleh John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseu yang masing-masing melahirkan konsep negara yang berbeda-beda. Lihat George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt, Rinehart and Winston, 1961), hal. 517 – 596.

[6] Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 152-162.

[7] Ibid.

[8] Dari Pasal 28A Perubahan Kedua UUD 1945.

[9] Ayat (2) ini berasal dari Pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua.

[10] Berasal dari ayat 28B ayat (2) Perubahan Kedua.

[11] Dari Pasal 28I ayat (2) Perubahan Kedua.

[12] Dari Pasal 28E ayat (1) Perubahan Kedua.

[13] Pasal 28E ayat (2) Perubahan Kedua.

[14] Pasal 28E ayat (3) Perubahan Kedua.

[15] Dari Pasal 28F Perubahan Kedua.

[16] Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28G ayat (1) Perubahan Kedua.

[17] Dari Pasal 28G ayat (2) Perubahan Kedua.

[18] Ayat (1) ini berasal dari Pasal 28H ayat (1) Perubahan Kedua.

[19] Pasal 28H ayat (2) Perubahan Kedua.

[20] Pasal 28H ayat (3) Perubahan Kedua.

[21] Pasal 28H ayat (4) Perubahan Kedua.

[22] Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28C ayat (1) Perubahan Kedua.

[23] Dari Pasal 28C ayat (2) Perubahan Kedua.

[24] Ayat (7) ini berasal dari Pasal 28D ayat (1) Perubahan Kedua.

[25] Ayat (8) ini berasal dari Pasal 28D ayat (2) Perubahan Kedua.

[26] Ayat ini berasal dari Pasal 28E ayat (4) Perubahan Kedua.

[27] Berasal dari rumusan Pasal 28I ayat (1) Perubahan Kedua yang perumus­an­nya mengundang kontroversi di kalangan banyak pihak. Disini perumusannya dibalik dengan subjek negara.

[28] Berasal dari Pasal 28I ayat (3) yang disesuaikan dengan sistematika peru­musan keseluruhan pasal ini dengan subjek negara dalam hubungannya dengan warga negara.

[29] Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan dengan pe­nyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam lampiran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan perumusan alternatif 1 butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi, khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: “...serta melindungi penduduk dari penyebaran paham yang berten­tang­an dengan ajaran agama”, sebaiknya dihapuskan saja, karena dapat mengu­rangi kebebasan orang untuk menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap tidak selayaknya ikut campur mengatur dalam urusan perbedaan pendapat dalam paham-paham internal suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri (public domain). Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok paham yang lain dari kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.

[30] Ayat (6) ini berasal dari Pasal 28I ayat (4) Perubahan Kedua.

[31] Dari ayat (5) Pasal 28I Perubahan Kedua dengan menambahkan perka­ta­an “...memajukan..”, sehingga menjadi “Untuk memajukan, menegakkan, dan me­lin­dungi....”

[32] Komnas HAM memang telah dikukuhkan keberadaannya dengan un­dang-undang. Akan tetapi, agar lebih kuat, maka hal itu perlu dicantumkan tegas dalam UUD.

[33] Berasal dari Pasal 28J Perubahan Kedua.

[34] Berasal dari Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang disesuaikan dengan sis­tematika perumusan keseluruhan pasal ini dengan subjek negara dalam hubungan­nya dengan warga negara.

[35] 123 Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan de­ngan penyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam lam­piran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan peru­musan alternatif 1 butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi, khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: “... serta melindungi penduduk dari penyebaran paham yang bertentangan dengan ajaran agama”, sebaiknya dihapuskan saja, karena da­pat mengurangi kebebasan orang untuk menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap tidak selayaknya ikut campur mengatur da­lam urusan perbedaan pendapat dalam paham-paham internal suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri (public domain). Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok paham yang lain dari kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.

[36] Lihat Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, (Norman; University of Oklahoma Press, 1991).

[37] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta; Konstitusi Press, 2005), hal. 209-228.

[38] Dalam kehidupan sosial terdapat tiga wilayah kekuasaan, yaitu negara (state), masyarakat sipil (civil society), dan pasar (market). Ketiga wilayah kekuasaan tersebut idealnya saling berhubungan secara seimbang tanpa adanya dominasi dari salah satu pihak. Lihat, Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, op cit., hal. 81. Namun kondisi sosial menunjukkan tarik-menarik antara ketiga wilayah kekuasaan tersebut terjadi hingga terjadi dominasi oleh salah satu wilayah kekuasaan. Lihat, Anthony Giddens, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, Judul Asli: The Constitution of Society: The Outline of the Theory of Structuration, Penerjemah: Adi Loka Sujono, (Pasuruan; Penerbit Pedati, 2003). Bandingkan dengan Francis Fukuyama, Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, Judul Asli: State Building: Governance and World Order in the 21st Century, Penerjemah: A. Zaim Rofiqi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005).

[39] Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, op cit, hal. 211-212.

[40] Ibid.

[41] Ditetapkan oleh Majelis Umum dalam Resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948.

[42] Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum 2200 A (III) tertanggal 16 Desember 1966.

[43] Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum 2200 A (III) tertanggal 16 Desember 1966.

[44] Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, op. cit, hal. 220-222.

[45] Hasil Perubahan Kedua UUD 1945.

[46] Diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 9 Desember 1998 dengan Resolusi 53/144.